20 April 2014

Sultan Hamid II : Pencipta Lambang Garuda Pancasila yang Tidak Pernah Diakui NKRI

SELAMA 22 tahun ORLA telah membelakangkan bidang ekonomi sehingga bangsa ini terbenam dalam utang, dan fundamental ekonomi hancur karena embargo Barat. Dengan politik sebagai “panglima,” Orde ini melakukan berbagai pelanggaran hukum, kesewenang-wenangan dan melakukan konspirasi politik untuk menjatuhkan lawan-lawan politik, termasuk Sultan Hamid II Al-Qadrie (SHIIA). Kebebasannya memiliki ide dan pendapat dibelenggu. Hak asasinya dipasung dengan tuduhan “makar” dan “pengkhianat” sehingga ia dipenjara 2 kali tanpa dapat dibuktikan kesalahannya. Karya besarnya, Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila (LNERGP), dikubur karena negara tidak mengakui SHII sebagai perancangnya.

Oleh : Syarif Ibrahim Alqadrie

Lebih dari 50 tahun perjuangan untuk memperoleh pengakuan terhadap SHIIA sebagai perancang LNERGP, menghadapi tembok tebal sama dengan tebalnya muka kedua orde itu: lambang negara yang agung itu digantung diberbagai tempat: gedung pemerintah, berbagai kantor, rumah, di dada dan di kedutaan di luar negeri, tapi si perancangnya tak pernah dihargai! Ironis memang. Ketika lagu Kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan dalam setiap acara, nama perancangnya, Wage Soepratman, selalu disebut, tapi tidak bagi SHIIA. Bahkan, sampai sekarang namanya sebagai perancang LNERGP yang di dada Lambang Negara itu terdapat Dasar Negara Pancasila, selalu disembunyikan.


Pada Era Reformasi, 1998, matahari demokrasi, kebebasan,  persamaan hak dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, kelompok etnis dan daerah, telah terbit dan bersinar di seluruh Nusantara. Perjuangan rakyat Kalbar dan para tokoh mereka untuk memperoleh pengakuan atas perancang LNERGP bertambah menggebu. Pemerintah Pusat dalam era ini sudah tahu itu. Bahkan, beberapa Presiden RI, termasuk SBY ketika ditemui oleh pendiri YSHII, Max Al-Qadrie,dkk, pada saat kampanye PilPres I nya, mendukung perjuangan itu.  Namun, reformasi sudah berjalan 15 tahun, presiden sudah berganti 4 kali, bahkan tugas SBY akan selesai setahun lagi, tampaknya harapan tinggal harapan pepesan kosong. Ada apa ini?
Apa yang salahkah pada bangsa ini dan pemimpinnya?  

Pantaslah kita mengalami krisis kepercayaan terhadap mereka, dan kita sedang mengarah pada negara gagal (false state). Kita telah melemparkan sejarah dan tidak pernah mau menghargai karya orang lain. Mampukah kita berkarya sehebat karya para pendahulu kita, padahal kita tak pernah mampu membedakan tujuan dengan alat demi kepentingan jangka pendek?  Kita selalu menganggap alat adalah tujuan. Alat-alat (equipments) seperti fasilitas, barang, mobilitas dan sarana pendukung, dianggap sebagai tujuan akhir. Konsekuensinya, kalau kita memiliki alat-alat antara lain: mobil, rumah mewah lengkap dengan perabotnya, dan kantor megah lengkap dengan alatnya, kita anggap tujuan sudah tercapai. Itulah sebabnya, kita tak pernah mampu bersaing dengan bangsa lain. Dalam pendidikan misalnya, kita selalu berada jauh di bawah standar, walau dengan bangsa Asia Tenggara sekalipun. Karena, pendidikan “rela” dihancurkan demi memiliki alat, mobilitas dan fasilitas melalui cara apapun yang dianggap sebagai tujuan akhir. 

Kembali pada SHIIA; ia memiliki kemampuan dan wawasan global tinggi, tapi mencintai negara dan bangsanya. Dengan kemampuan, reputasi dan relasi internasionalnya yang luas, seperti Habibie miliki misalnya, ia bisa saja pindah dan bekerja dengan penghasilan sangat baik di negara Eropa atau AS, karena pemerintah dan negara  tidak menghargai karya dan  keberadaannya. Namun, dengan kesadaran penuh ia tidak melakukannya dan lebih memilih terpisah dengan isteri dan dua anaknya yang masih memerlukan kasih sayangnya. 

Dengan tuduhan “pengkhianat”  yang justru tak pernah dapat dibuktikan, mengapa ia mau tetap tinggal di negara yang pemerintah, negara dan sejumlah pemimpin di luar Kalimantan – yang memang tidak paham tentang realitas sebenarnya karena sejarah dipalsukan -  tidak mau menghargai, bahkan menjerumuskannya ke dalam bui? Apa yang membuat SHIIA tetap bertahan di negeri ini walau kesalahan tak pernah diperbuatnya? 

Menurut para pengamat sejarah LIPI, UGM, UI dan Untan adalah karena cinta dan rasa nasionalisme yang mendalam pada bangsa dan negara ini. Karena, fitnah, ketidakadilan dan penderitaan merupakan harga dari kejujuran dan nasionalismenya (slander, unjustice  and misery are the price of his honesty and nationalism) yang tak kunjung redup. 

Perlakuan ORLA yang menganggap rendah (under estimate) kemampuannya, hanya karena SHIIA jebolan pendidikan Belanda (tidak sedikit jumlah tokoh Indonesia saat itu adalah juga lulusan Belanda, termasuk antara lain Hatta, Sutan Syahrir, Mohd. Yamin, dan sebagainya, tapi mereka tidak diperlakukan secara tidak adil) sudah kelihatan ketika ia diangkat sebagai menteri negara tanpa departemen (portofolio ministry). Padahal ia punya kemampuan manajerial, wawasan, kepemimpinan, strategi militer dan penguasaan bahasa asing di atas rata-rata. 

Ketika RI dalam transisi,  SHIIA banyak membantu Soekarno-Hatta khususnya mewakili RI berdiplomasi dengan luar negeri, mendirikan Badan Permusyawaratan Negara-Negara Federal (BFO) yang berpihak pada RI atas aneksasi Belanda, menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar dan merangkul Negara Serikat bagi kepentingan NRI Yogya. Ketika kabinet terbantuk, SHIIA seharusnya dimanfaatkan untuk tugas lebih menantang bukan sekedar Menteri zonder portofolio yang hanya mempersiapkan agenda dan ruang rapat, fasilitas dan mobilitas bagi kementerian lain. Namun, tugas itu dijalaninya dengan ikhlas, termasuk merancang LNERGP. 

Panitia perancang lambang negara, di bawah koordinasi SHIIA, menampung gambar lambang tersebut dari masyarakat.  Hanya ada 2 gambar yang masuk: dari SHIIA dan dari MY. Panitia memutuskan rancangan dari SHIIA diterima, sedangkan gambar dari MY ditolak. Presiden RI meminta SHIIA menyempurnakan rancangannya.

SHIIA secara khusus menampilkan khatullistiwa di tengah perisai yang memuat lima sila Pancasila. Khatulistiwa pada mana Kesultanan Qadriyah dan Pontianak terletak tepat pada garisnya membuktikan perancangnya adalah putera bangsa kelahiran Kalbar sehingga karyanya tidak bisa diakui  atau disembunyikan oleh siapapun.  SHIIA memperlihatkan kekhasan LNERGP berupa rantai segi empat sebelah kiri perisai sebagai simbolisasi kelompok etnis Dayak yang merupakan sila ke dua Pancasila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Unsur nasional dan global dari  lambang itu ditujukkan oleh lima sila Pancasila yang tergambar pada perisai itu. Sila Pertama,  disimbolkan oleh Bintang;  Sila kedua,  diwujudkankan oleh Rantai Segi Empat; Sila ketiga,  digambarkan dengan Pohon Beringin; Sila keempat,  disimbolkan oleh Kepala Banteng, dan Sila kelima, diwujudkan oleh Kapas dan Padi. (*/selesai)

* Penulis, Dosen FISIPOL, UNTAN, pendiri Alqadrie Center & Professor tamu NIAS, Copenhagen, Denmark.



Related Posts

Comments
0 Comments

No comments:

Passan Pala' Kesah

Awalnya blog ini dibuat hanya iseng untuk mendokumentasikan dan mengumpulkkan khazanah tanah kelahiran yang hampir terlupakan generasi muda. Berawal dari postingan permainan rakyat dan kamus mini bahasa Melayu Sambas, admin terus memperbaiki SEO dan postingan dan berupaya memenuhi apa yang diinginkan pembaca blog ini. Setelah di analisa, ternyata kebanyakan pengunjung blog ini mencari tentang sejarah kelam Sambas 1999.

Inginya blog ini difokuskan untuk sejarah, budaya dan segala sesuatu yang terkait dengan tanah kelahiran, namun pada perjalanannya admin banyak menemukan artikel menarik dan sengaja direpost disini untuk arsip pribadi. Sungguh sangat tidak disangka ternyata banyak juga pembaca punya ketertarikan yang sama dengan fenomena akhir zaman yang semakin nyata. Untuk saat ini admin akan fokus pada artikel tentang Dajjal dan Imam Mahdi yang dipastikan sebentar lagi akan tiba. Apabila pembaca menemukan artikel yang menarik haraplah berikan hujatan, celaan atau komentarnya...^_^

Jika ada yang tertarik untuk menjadi penulis di blog ini, atau tukar link sesama blogger, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi admin

Hariyono Al Kifri