Mengungkap aksi Kerusuhan yang terjadi di Kab Sambas, Kalimantan Barat pada era pra reformasi hingga sekarang masih tabu untuk di tulis di media massa terutama jejaring internet. Begitu sulitnya mencari informasi ini disini menurut saya sangatlah wajar karena Konflik Etnis yang terjadi pada tahun 1999 itu melibatkan etnis besar di Kalimantan Barat yaitu suku Melayu Sambas yang didukung oleh etnis Dayak VS suku Madura. Jika hal ini diungkap dengan tidak adil dikhawatirkan akan membuka memoar lama yang begitu perih dan berakibat fatal serta memicu hal serupa terulang kembali. Namun sejarah bukanlah sebuah benda keramat yang tak tersentuh walaupun itu sangat menyakiti berbagai pihak karena presiden pertama kita pernah mengatakan "jangan sekali-kali melupakan sejarah". Disini saya mengajak para pembaca sekalian "marilah kita melihat sejarah dari sudut pandang mencari ibrah bukan mencari siapa yang salah".
KOMPAS
Rabu, 20 Desember 2000
KONFLIK ETNIS DI KALIMANTAN BARAT BAK LUKA YANG TAK SEMBUH-SEMBUH
SEJAK akhir tahun 1962, pertikaian etnis sepertinya sulit terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Sekalipun sudah ribuan nyawa manusia yang tidak berdosa melayang, puluhan ribu tempat tinggal dan tempat usaha hangus dibakar, namun bibit konflik itu terus saja membara. Bahkan, dalam empat tahun ini tercatat telah empat kali meletus kerusuhan besar, sedangkan yang kecil tidak bisa dihitung lagi.
Setiap kali terjadi pertikaian etnis pasti dijumpai perlakuan yang tidak manusiawi terhadap korban. Bayangkan saja, setelah tewas dibunuh, lawan dari etnis berlainan tersebut memenggal tubuh korban menjadi beberapa potong. Kepalanya ditenteng dan dipamerkan di jalan raya, atau ditendang seperti bola. Anehnya, pelaku pun tampak sangat berbangga serta bergembira dengan tindakan itu. Nyawa manusia seolah menjadi tidak berharga di hadapan mereka yang bertikai.
Kesepakatan perdamaian selalu
digalakkan pejabat setempat serta pemimpin dari kelompok yang bertikai.
Namun, semua itu hanya manjur sesaat. Kalau terjadi lagi senggolan
kendaraan bermotor, perkelahian antarwarga yang melibatkan warga yang
kebetulan beretnis Melayu atau Dayak dengan Madura, kerusuhan tersebut
berpotensi meletus kembali. Persoalan antarpribadi dengan mudah serta
cepat dapat berubah menjadi konflik antar-etnis. Dalam sekejap konflik
pun menjalar ke berbagai kawasan. Semua itu karena luka batin yang
diderita selama ini belum mampu tersembuhkan, sehingga masyarakat juga
dengan mudah terprovokasi dalam solidaritas sosial yang sempit.
BERDASARKAN catatan Prof Dr Syarif
Ibrahim Alqadrie, Guru Besar Sosiologi Universitas Tanjungpura (Untan),
konflik etnis di Kalbar sudah terjadi 12 kali. Sepuluh kali melibatkan
Dayak dengan Madura, yakni pada tahun 1962, 1963, 1968, 1972, 1977,
1979, 1983, 1996, 1997 dan 1999. Sekali antara Dayak dengan Tionghoa,
yakni 1967. Kemudian dua kali Melayu dengan Madura, yakni tahun 1999 dan
2000.
Dari ke-12 kali konflik etnis
tersebut, yang terdahsyat adalah pertikaian Dayak dengan Madura pada
tahun 1996 dan 1997. Saat itu konflik yang berawal dari Kampung Sanggau
Ledo menyebar ke sejumlah kecamatan di Kabupaten Sambas, kemudian meluas
hingga ke Kabupaten Pontianak, Sanggau dan Kodya Pontianak. Tragisnya,
di mana dan kapan pun anggota dari kedua kelompok etnis ini bertemu
cenderung saling kontak fisik atau saling membunuh.
Setelah itu, menyusul pertikaian
antara Melayu dan Dayak dengan Madura di Kabupaten Sambas pada tahun
1999. Konflik yang ini menjadi lebih parah, sebab ribuan masyarakat
Madura di Sambas harus diungsikan ke berbagai lokasi di Kodya Pontianak
dan Singkawang. Dan hingga kini, pengungsi tetap dibiarkan bertahan
dalam kamp pengungsian dan rumah keluarga sekaligus bergulat dengan
1.001 penderitaan.
Keinginan kembali ke Sambas pun
ditolak penduduk asli. Relokasi yang dijanjikan pemerintah, baru
sebagian kecil yang direalisasikan. Rekonsiliasi antara masyarakat
Dayak, Melayu dengan Madura terkesan diambangkan penguasa, sehingga
pengungsi Sambas benar-benar berada di dalam ketidakpastian masa depan.
Lebih menyakitkan lagi, ketika
persoalan yang satu belum tuntas, lalu meletus lagi pertikaian yang sama
yang melibatkan Melayu dan Madura di Kota Pontianak pada 25-27 Oktober
2000. Peristiwa ini seolah ikut memupuskan harapan pengungsi Sambas
untuk melakukan rekonsiliasi dan kembali ke tempat asalnya di Kabupaten
Sambas.
"Sepertinya ada pihak tertentu yang
tak rela melihat masyarakat Melayu, Dayak dengan Madura di Sambas
berdamai. Sebab fakta yang ada selama ini selalu memperlihatkan bahwa
setiap kali pemuka masyarakat dari ketiga suku hendak tercapai
kesepakatan, tiba-tiba saja meletus konflik baru baik berskala kecil
maupun besar," tutur Muniran, tokoh masyarakat Madura.
Harus diakui, semakin beruntunnya
konflik etnis di Kalimantan Barat, khususnya selama empat tahun
terakhir, telah melahirkan bibit permusuhan antarkelompok masyarakat
begitu subur berkembang. Benih kecurigaan telah bertebaran di mana-mana.
Masyarakat sendiri semakin sulit membedakan persoalan pribadi maupun
kelompok. Suasana hidup di Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten
Sambas, Bengkayang, Landak, Pontianak dan Kota Pontianak pun menyerupai
api dalam sekam.
Apabila dirunut ke belakang,
sebetulnya masyarakat Madura dan Kalimantan Barat memiliki hubungan
sejarah. Pada awal abad ke-18 saat perang melawan Kerajaan Riau,
sejumlah sukarelawan asal Madura yang tergabung dalam pasukan Kerajaan
Mataram secara khusus ditugaskan ke Kalbar untuk membantu Kerajaan
Sambas. Setelah pertempuran berakhir, sejumlah sukarelawan Madura tidak
bersedia kembali ke tanah asalnya. Mereka memilih bertahan di Sambas,
lalu menikah dengan gadis Melayu setempat.
Kedatangan berikutnya pada awal abad
ke-20, sekitar tahun 1902. Setelah itu, eksodus masyarakat Madura secara
swakarsa tersebut makin marak hingga saat ini. Di Kalbar, mereka
umumnya bekerja sebagai petani, buruh kasar, peternak dan pedagang.
Pilihan pekerjaan ini disebabkan tingkat pendidikan mereka rata-rata
tidak tamat Sekolah Dasar (SD).
Di mata penduduk asli Kalbar,
masyarakat Madura dinilai rajin, ulet dan terampil dalam memelihara
tanaman serta hewan. Seekor sapi yang sebelumnya sangat kurus, setelah
dipelihara serta dirawat orang Madura selama beberapa pekan, langsung
gemuk. Maka tak heran, kalau kebutuhan daging sapi di Kalbar sebagian
besar dipasok masyarakat Madura setempat.
Di balik kelebihan ini, ternyata masih
ada sederetan perilaku yang dinilai penduduk Kalbar sebagai hal yang
negatif. Hal tersebut antara lain selalu menggunakan senjata tajam dalam
menghadapi atau menyelesaikan konflik. Dan bagi penduduk asli, kalau
salah seorang warganya terkena senjata tajam, maka harus diselesaikan
secepatnya dengan upacara adat setempat, baik berupa pendinginan darah
maupun pergantian biaya obat-obatan. Di samping itu, pelakunya
menjalani proses hukum.
"Inilah yang sering menjadi masalah,
sebab orang Madura selalu tidak bersedia menjalani hukum adat. Bahkan,
ketika pelakunya sudah ditahan polisi pun, mereka berusaha dengan segala
cara supaya pelaku dibebaskan. Akibatnya, timbul kekecewaan dari
keluarga serta kerabat korban. Mereka lalu membalasnya dengan melukai
atau membunuh pelaku atau kerabat pelaku. Kemudian meletuslah
kerusuhan," tutur Slamet AG (62), pensiunan Polri. Lelaki asal Bantul,
DI Yogyakarta ini sudah sekitar 30 tahun bertugas di Kalbar.
Arogansi lain dari beberapa warga
Madura, tambah Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie, adalah cenderung
membiarkan hewan piaraannya memasuki kebun milik orang lain. Batas lahan
atau tanah pun digeser semaunya. Kalau ditegur pemilik tanah yang
dirugikan, langsung diancamnya dengan senjata tajam. Hasil pertanian dan
barang dagangan orang lain pun diambil sesuai kehendaknya.
"Kalau dituduh mencuri, mereka
berkilah bahwa pencurian hanya dapat dilakukan pada malam hari.Sedangkan
pengambilan barang itu dilakukan siang hari," tutur Syarif Ibrahim yang
sudah beberapa kali meneliti kerusuhan sosial di Kalbar. Pelaku,
katanya, umumnya mereka yang baru datang dari kampung asalnya di Madura.
"Maka, kerusuhan sosial di Sanggau
Ledo, Sambas atau konflik etnis lainnya yang berskala kecil maupun besar
selama ini di Kalbar adalah akumulasi dari kemarahan, kekecewaan,
kebencian, keterhinaan, keterhimpitan, kepedihan maupun
ketidakberdayaan. Hal itu merupakan implikasi dari semua pengalaman
pahit yang dialami selama ini lewat berbagai perilaku preman yang
menyakitkan," tambahnya.
Kendati demikian, persoalan yang
timbul adalah mengapa terjadi penyamarataan terhadap setiap warga
Madura? Tragisnya lagi, mereka yang tidak bersalah atau beberapa
perempuan atau lekaki Melayu dan Dayak yang sudah terasimilasi dalam
perkawinan ikut menjadi sasaran kebrutalan massa, serta dilarang
menetap di Kabupaten Sambas.
"Terus terang, saya jadi tak mengerti
lagi dengan kerusuhan di Sambas tempo hari. Bayangkan, saya ini orang
Melayu yang kebetulan beristrikan orang Madura. Tetapi, dalam kerusuhan
Sambas, rumah kami dibakar oleh orang Melayu. Bahkan, sampai sekarang
dilarang kembali ke Sambas. Apa salah kami?" tegas Thamrin (48), ayah
enam anak yang kini menderita cacat pada kedua tangannya. Dia bersama
keluarganya sedang pengungsi di Stadion Sultan Syarif Abdurrahman
Pontianak. Di Sambas, mereka menetap di Desa Kawakan, Kecamatan
Sejangkung.
Sejumlah masyarakat Madura mengakui
ada sejumlah sesamanya yang agak kurang menyatukan diri dengan
lingkungan masyarakat Kalimantan Barat. Namun, kenyataan ini tidak bisa
digeneralisasikan semua warga Madura. Masih banyak orang Madura yang
bersikap akomodatif, toleransi dan selalu bersahabat dengan masyarakat
suku lain di Kalbar.
Akar persoalan, kata mereka, terletak
pada tak adanya kepastian hukum. Kalau terjadi kecelakaan, pencurian
atau perkelahian, aparat penegak hukum tidak serius menindaknya. Bahkan,
memberi peluang bagi pelaku terbebas dari segala tuntutan hukum.
Sebagai kompensasi, mereka diberikan sejumlah uang.
"Bagi orang Madura, tawaran polisi ini
pasti langsung disambut baik. Sebab tahanan dan penjara dalam pandangan
orang Madura adalah menyakitkan dan memalukan. Mereka rela menjual
sapi beberapa ekor, yang penting sanak keluarganya dibebaskan," kata
Haji Ramini, Ketua Ikatan Keluarga Korban Kerusuhan Sambas (IK3S).
"Jadi, kalau mau jujur, aparat penegak
hukum merupakan penyebab dari semua tragedi berdarah di Kalbar. Kalau
oknum-oknum yang sering mengganggu ketenangan dan keharmonisan warga
ditangkap, dan diadili, kemudian hukum pun benar-benar ditegakkan,
takkan mungkin kasus yang menyerupai pembasmian etnis ini terjadi
terus-menerus," tambahnya.
Salah satu bukti kasus Pontianak 25-27
Oktober 2000 lalu. Kasus itu hingga kini sepertinya hendak didiamkan,
sebab belum satu pelaku utama atau provokator yang ditangkap atau
diseret ke pengadilan. Sebanyak 13 berkas perkara yang dilimpahkan
kepada Kejaksaan Negeri Pontianak pertengahan November 2000 silam,
dengan pelakunya adalah mereka yang kedapatan membawa senjata tajam saat
sweeping aparat TNI/Polri.
"Ketidakseriusan aparat Polri dalam
mengusut, menangkap sekaligus menghukum pelaku serta dalang kerusuhan,
berarti menyimpan bom waktu bagi masyarakat Kalbar. Sebab, tidak
tertutup kemungkinan, peristiwa yang sama meletus kembali di waktu
mendatang," tegas Muniran.
Ketidakadilan dan perilaku memang
merupakan salah satu variabel utama mendorong timbulnya konflik
antaretnis di Kalbar. Namun kasus ini tak berdiri sendiri. Apalagi
peristiwa yang sama sudah terjadi 12 kali di wilayah tersebut. Bahkan
berpotensi untuk meletus lagi di waktu-waktu mendatang.
Syarif Ibrahim Alqadrie melihat
kepemimpinan politik juga ikut memicu pertikaian. Pemimpin formal
setempat, seperti gubernur maupun bupati dinilai belum mampu mengelola
pluralitas etnik sebagai suatu kekuatan untuk memajukan kepentingan
bersama. Sebaliknya, perbedaan yang ada diupayakan sedemikian rupa agar
tidak rukun, sehingga dengan mudah diadu-domba untuk menimbulkan konflik
horizontal. Strategi ini merupakan bagian dari upaya mempertahankan
kekuasaan dan memperkuat posisi kepemimpinan.
Dalam teori konflik, jelas Syarif
Ibrahim, kalau sebuah daerah atau negara sering terjadi konflik,
timbullah instabilitas keamanan dan sistem ketatanegaraan serta
pemerintahan pun akan semakin lemah. "Keadaan demikian tentu sangat
menguntungkan pemimpinnya. Kekuasaan tetap langgeng, dan semakin tidak
tergoyahkan. Sebab konsentrasi warga lebih tertuju kepada bagaimana
menjaga keamanan. Sebaliknya, kalau stabilitas keamanan terpelihara
dengan baik, sebagian masyarakat pun akan menggoyang kedudukan
pemimpinnya. Ini yang paling ditakuti para pemimpin formal yang tidak
merakyat," jelas Syarif Ibrahim.
Terlepas dari beragamnya pendapat soal
latar belakang pertikaian etnis di Kalbar, namun satu hal yang pasti
seluruh masyarakat selalu menginginkan ketenangan, kedamaian,
persaudaraan, serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.
Ini berarti, perlu dilakukan rekonsiliasi ke arah perdamaian yang abadi
antarkelompok etnis yang bertikai. Dengan demikian, segala macam
dendam, permusuhan maupun konflik batin lainnya yang masih bersemi
dalam sanubari masyarakat segera dimusnahkan.
Persoalannya, dalam rekonsiliasi
menuntut keikhlasan, kejujuran dan rendah hati. Artinya, masing-masing
kelompok yang bertikai harus jujur dan rendah hati mengakui kesalahan
masa lalu. Kemudian dengan ikhlas saling memberikan maaf kepada kelompok
lainnya seraya berjanji takkan mengulangi kesalahan yang pernah
dibuatnya. Rekonsiliasi ini tidak hanya dilakukan di tingkat elite
kelompok etnis. Tapi juga harus digelar di lingkungan masyarakat
terkecil, seperti Rukun Tetangga (RT) sehingga melibatkan partisipasi
serta dukungan seluruh lapisan masyarakat.
Foto-Foto Ilustrasi Korban Kerusuhan Sambas (Maaf bukan foto yang sesungguhnya ya, pada waktu itu belum ada orang samabas yang memiliki kamera digital)
 |
Salam Damai...... PEACE |