Puasa adalah salah satu dari tiga ibadah yang sama
tuanya dengan umur manusia di muka bumi ini. Dua ibadah lainya adalah shalat,
seperti disebutkan dalam surat Al-Mudatstsir [74]: 40-43, dan Qurban seperti
disebutkan dalam surat Al-Ma’idah [5]: 27. Sementara ibadah puasa terdapat
dalam surat Al-Baqarah [2]: 183 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Sejarawan Muslim Ibnu Katsir
meyakini bahwa ajaran puasa sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa. Menurut dia,
Adam berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun.
Ada pula yang mengatakan, Adam
berpuasa pada 10 Muharam sebagai rasa syukur karena bertemu dengan istrinya,
Hawa, di Arafah. Sementara yang lain berpendapat, Nabi Adam berpuasa sehari
semalam pada waktu dia diturunkan dari taman surga oleh Allah.
Ada juga yang mengatakan Adam
berpuasa 40 hari 40 malam setiap tahun. Pendapat lainnya mengatakan Adam
berpuasa dalam rangka mendoakan putra-putrinya.
Selain itu, ada yang menjelaskan,
Adam berpuasa pada hari Jumat untuk mengenang peristiwa penting, yakni dijadikannya
dia oleh Allah, hari diturunkannya ke bumi, dan diterimanya tobat Adam oleh
Allah.
''Sesungguhnya Allah menjadikan
Adam pada hari Jumat, diturunkan di bumi pada hari Jumat, dia bertobat kepada
Allah atas dosanya memakan buah khuldi pada hari Jumat dan wafat pun pada hari
Jumat.'' (HR Bukhari).
Walaupun dalam Al Quran maupun Hadits
tidak dijelaskan bagaimana bentuk puasa Adam dan generasi sesudahnya, tetapi
ada petunjuk-petunjuk bahwa agama-agama yang dibawa oleh para rasul terdahulu
itu adalah agama monotheisme yang mengajarkan kepercayaan pada keesaan Tuhan
(Allah).
Contohnya adalah Nabi Nuh yang
berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun, seperti puasanya Nabi
Adam. Puasa ini lah yang kita kenal dengan puasa putih yang juga sunnah untuk dikerjakan pada setiap tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan dalam kalender hijriyah.
Nabi Nuh juga memerintahkan kaumnya
untuk menyembah Allah dan berpuasa ketika mereka berbulan-bulan hidup
terkatung-katung di dalam perahu besar di tengah samudera luas akibat bencana
banjir besar, seraya bertobat kepada Allah.
Nabi Daud juga melanjutkan tradisi puasa dengan cara sehari puasa dan sehari
berbuka. Dalam pernyataannya Nabi Daud as berkata, “Adapun hari yang aku
berpuasa di dalamnya adalah untuk mengingat kaum fakir, sedangkan hari yang aku
berbuka untuk mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT.” Pernyataan
Nabi Daud as tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baiknya
puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR.
Muslim).
Al-Qurthubi, dalam kitab Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an,
menyebutkan bahwa Allah Swt telah mewajibkan, puasa kepada Yahudi selama 40
hari, kemudian umat nabi Isa selama 50 hari. Tetapi kemudian mereka merubah
waktunya sesuai keinginan mereka. Jika bertepatan dengan musim panas mereka
menundanya hingga datang musim bunga. Hal itu mereka lakukan demi mencari
kemudahan dalam beribadah. Itulah yang disebut nasi’ seperti disebutkan dalam
surat At Taubah : 37 yang artinya: “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram
itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan
mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan
mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mensesuaikan dengan
bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah…”
Hal itu menggambarkan betapa umat Yahudi selalu menghindarkan diri untuk melaksanakan ibadah dengan sempurna sesuai aturan Tuhan. mereka menginginkan puasa dilaksanakan selalu pada musim dingin atau musim bunga yang siangnya lebih pendek dari malam, berbeda dengan puasa pada musim panas, disamping suhu yang panas siang juga lebih panjang dari malam hari. Sehingga, puasa akan terasa sangat sulit dan melelahkan.
Namun, begitulah hikmahnya Allah memerintahkan puasa berdasarakan perjalan bulan bukan matahari agar puasa dirasakan pada semua musim dan semua kondisi. Sebab, jika puasa berdasarkan perjalan matahari, maka ibadah puasa akan selau berada dalam satu keadaan. Jika tahun ini puasa di mulai pada musim panas, maka selamanya puasa akan berada pada musim panas. Berbeda dengan perjalanan bulan yang selalu berubah, di mana jika tahun ini puasa dilaksanakan pada musim panas, maka tahun depan atau beberapa tahun kemudian puasa akan dilaksanakan pada musim dingin atau semi dan seterusnya. Begitulah yang disebutkan Allah swt, dalam surat al-Baqarah: 185 yang artinya ” …karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,…”
Menurut para ahli tafsir, Musa dan kaum Yahudi telah
melaksanakan puasa selama 40 hari (QS. Al Baqarah: 40). Salah satunya jatuh
pada tanggal 10 bulan Muharram yang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas
kemenangan yang diberikan oleh Allah SWT dari kejaran Firaun. Puasa 10 Muharram
ini dikerjakan oleh kaum Yahudi Madinah dan Rasulullah saw menegaskan umat
Islam lebih berhak berpuasa 10 Muharram dari pada kaum Yahudi karena hubungan
keagamaan memiliki kaitan yang lebih erat dibandingkan dengan hubungan
kesukuan. Untuk membedakannya, Rasulullah saw kemudian mensyariatkan puasa
sunah tanggal 9 dan 10 Muharram, selain untuk membedakan puasa kaum Yahudi,
juga ungkapan simbolik kemenangan kebenaran atas kebatilan.
Umat Yahudi juga diperintahkan berpuasa 1 hari pada hari ke 10 bulan ke 7 dalam hitungan bulan mereka selama sehari semalam. Sementara masyarakat Mesir kuno, Yunani, Hindu, Budha, juga melaksanakan puasa berdasarkan perintah tokoh agama mereka.
Umat Nashrani juga berpuasa dalam hal-hal tertentu,
seperti puasa daging, susu, telur, ikan, bahkan berbicara. Seperti yang pernah
dilakukan Maryam ibu Nabi Isa as sebagaimana firman Allah Swt dalam surat
Maryam [19]: 26 yang artinya: “…Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk
Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang
manusiapun pada hari ini".
Sebelum puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriyah, Rasul SAW telah memerintahkan kaum Muslimin puasa Asyura tanggal 9 dan 10 Muharram. Namun begitu perintah puasa Ramadhan tiba, puasa Asyura menjadi puasa sunah. Tingginya tingkat kesulitan dalam melaksanakan puasa ramadhan menjadikan syariat ini turun belakangan setelah perintah haji, shalat dan zakat. Wajar jika kemudian ayat-ayat tentang puasa Ramadhan turun secara berangsung-angsur: Pertama, perintah wajib puasa Ramadhan dengan pilihan. (QS. Al-Baqarah: 183-184).
Kaum Muslimin boleh memilih berpuasa atau tidak berpuasa,
namun mereka yang berpuasa lebih utama dan yang tidak berpuasa diharuskan
membayar fidyah. Kedua, kewajiban berpuasa secara menyeluruh kepada kaum
Muslimin, dengan pengecualian bagi orang-orang yang sakit dan bepergian serta
manula yang tidak kuat lagi berpuasa (QS. Al-Baqarah: 185).
Awal mulanya kaum Muslimin berpuasa sekitar 22 jam karena
setelah berbuka mereka langsung berpuasa kembali setelah shalat Isya. Namun,
setelah sahabat Umar bin Khathab mengungkapkan kejadian mempergauli istrinya
pada satu malam Ramadhan kepada Rasul SAW, turunlah QS Al Baqarah: 187 yang
menegaskan halalnya hubungan suami-istri di malam Ramadhan dan ketegasan batas
waktu puasa yang dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. Inilah
syariat puasa dalam Islam yang menyempurnakan tradisi puasa seluruh agama
samawi yang ada sebelumnya.
Mengetahui sejarah puasa umat terdahulu penting untuk
diketahui agar kita jangan mencontoh puasa umat lalu, seperti umat Yahudi yang
memilih waktu puasa seenaknya bukan menurut aturan Allah. sebab, ibadah yang
lakukan dengan “kelicikan” kerugiannya akan diderita oleh manusia itu sendiri.
Kita juga harus menyadari bahwa puasa adalah ibadah yang pelaksanaannya
menuntut keimanan dan kesadaran. Ibadah puasa adalah untuk manusia itu sendiri.
Bukankah Allah menegaskan bahwa tujuan puasa adalah untuk perubahan ke arah
yang lebih baik. Puasa akan menjadikan manusia berubah dari tingkat mukmin
menjadi muttaqin.
Untuk bisa berubah ke arah dan bentuk yang lebih baik, bukan hanya manusia yang
berpuasa, akan tetapi sebagian binatangpun ketika bermetamorfosa (merobah
wujud) juga berpuasa, seperti halnya kupu-kupu yang berubah dari ulat yang
bentuk dan rupanya jelek dan berjalan melata, menjadi seekor kupu-kupu yang
bersayap dan berawarn indah serta bisa terbang karena berpuasa.