Pontianak Post
Senin, 27 Juni 2011
TRAGEDI Mandor Berdarah menelan korban puluhan ribu nyawa, tercatat 21.037 lebih tewas dari target pembantaian 50.000 orang. Mereka dibantai serdadu Jepang yang mendarat pertama kali di Kalimantan Barat dibawah pimpinan Letnan Jenderal Tadashige Daigo. Mereka adalah putra-putri terbaik yang dimiliki daerah ini, terdiri dari berbagai etnis dan profesi, seperti Syarif Muhammad Al-Qadri salah seorang Sultan Pontianak beserta anak-anaknya, panembahan keraton, dokter Roebini beserta istri dan para kaum cerdik pandai lainnya.
Pembantaian tersebut dibenarkan oleh Kiyotada Takahashi, ex opsir Jepang yang pernah menetap di Pontianak, dan tercatat di Museum Jepang. Kekejaman yang mereka lakukan, antara lain dengan cara pemancungan hidup-hidup menggunakan samurai, setelah kepalanya ditutupi dengan sungkup, tumpukan mayat menggunung setinggi dada, hancur membusuk, sebagian tercabik dagingnya dimakan babi hutan, tulang belulang yang berserakan itu dikumpulkan, kemudian dikuburkan dalam 10 lobang, belum lagi yang dibuang ke sungai sehingga air sungai berubah warna darah.
Mereka diperlakukan di luar batas kemanusiaan, lebih kejam dari kejadian pemotongan sapi yang diprotes pemerintah Australia belakangan ini. Jumlah korban pembantaian Mandor jauh melebihi jumlah korban pembunuhan Westerling di Makasar yakni; 5.000 orang tewas.
Sungguhpun jumlah korban kekejaman Westerling jauh lebih kecil tetapi peristiwa tersebut ada dalam pelajaran sejarah nasional, sehingga semua anak Indonesia pernah mempelajari kejadian tersebut, sementara kekejaman Jepang yang menelan korban puluh ribuan orang di Kalimantan Barat tidak ada dalam pelajaran sejarah nasional sehingga tidak dipelajari oleh para pelajar di Indonesia. Oleh karena itu janganlah heran, jika sebagian besar masyarakat Indonesia pada hari ini dan bahkan hari esok tidak mengetahui adanya kekejaman Jepang di tempat kelahirannya dan tanah tumpah darahnya.
Jika ini terus dibiarkan, apa tidak mungkin generasi selanjutnya tidak mengetahui adanya peristiwa sejarah kekejaman kemanusiaan itu. Ahli sejarah mengatakan, semestinya setiap orang mengetahui peristiwa seratus tahun atau satu abad sebelum ia dilahirkan. Dikatakan, “Jika kita tidak tahu apa yang terjadi sebelum kita lahir, berarti kita tetap layak disebut anak kecil”, demikian Cicero; Ketika penulis mengikuti pelatihan Perpolisian Masyarakat (Polmas) di Jepang tahun 2008 lalu, kami yang terdiri dari 26 tokoh masyarakat se Indonesia diterima di kedutaan Indonesia di Jepang mendiskusi berbagai hal.
Pada diskusi tersebut, penulis menanyakan kepada pihak kedutaan mengenai bagaimana sikap masyarakat Jepang terhadap kekejaman kemanusiaan yang telah mereka lakukan di bumi Kalimantan Barat, yang dikenal sebagai “Tragedi Mandor Berdarah”. Penulis sangat kecewa dan sedih, ternyata peristiwa yang sangat memilukan, menyedihkan, menyayat hati, dan menyimpan troumatik ini tidak diketahui oleh mereka. Sementara peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mereka ketahui, Masyarakat Jepang mengenangnya sepanjang masa sehingga merasuk ke dalam hati sanubari semua masyarakatnya dan membangun kesadaran kolektif rakyatnya untuk bangkit kembali membangun Jepang sebagai sebuah bangsa yang memiliki harga diri, dihormati dan di segani di Asia dan bahkan di dunia. Pada waktu itu penulis sempat berpikir dan menilai bahwa kedutaan telah gagal menjalankan misi kemanusiaannya.
Kita yang masih sempat hidup hari ini semestinya bersedih dan malu kepada para pahlawan atas tragedi ini. Ternyata harga diri dan kemanusiaan kita sangat lemah, barangkali berpenyakit. Kita kenang kejadian penting ini hanya sebatas upacara, pemasangan bendera setengah tiang, dan kegiatan serimonial lainnya, itupun tidak serius kita lakukan, sekedarnya saja. Besok setelah tanggal 28 Juni sudah hilang dari memori kita. Inikah bangsa yang besar?, bangsa yang menghargai para pahlawannya.
Dari pengalaman tersebut, penulis menyimpulkan, bahwa sebagian besar pemimpin, tokoh masyarakat, pendidik, dan pelajar di negeri ini tidak mengetahui, tidak menghayati dan tidak mengambil pelajaran dari “Tragedi Mandor Berdarah” ini. Pertanyaan penting yang selalu mengusik pikiran penulis, antara lain mengapa dalam waktu sangat singkat, Jepang berhasil melakukan pembantaian puluhan ribu penduduk Kalimantan Barat dan mengapa sasaran utama pembantaian tersebut adalah para tokoh masyarakat dan kaum cerdik pandai? Jika latar belakang tersebut terungkap, maka tragedi Mandor berdarah menjadi pelajaran bermakna bagi generasi penerus, karena; (1) sejarah adalah sesuatu yang sering terulang; (2) melalui sejarah terkonsepsikan kehidupan masa lalu; (3) sejarah mengajarkan kepada kita mengenai apa yang tidak kita lihat; dan (4) sejarah tidak hanya menjelaskan fakta dan data semata, melainkan jauh lebih mendalam dan penting adalah interpretasi terhadap fakta dan data itu yang kemudian diikuti dengan aksi atau tindakan nyata.
Terbunuhnya para tokoh dan cerdik pandai daerah Kalimantan Barat ini sebagai pemutusan satu generasi. Putusnya mata rantai generasi ini membawa dampak yang sangat besar terhadap keberlanjutan kemajuan daerah ini. Generasi yang hidup sekarang ini harus proaktif menyambung kembali mata rantai yang sempat terbutus itu. Namun harus diingat, bahwa kesadaran akan pentingnya sejarah “Tragedi Mandor Berdarah” sangat ditentukan dari cara berfikir, yakni apa yang dikenal Historical Thinking. Oleh karena itu jika kita sering memikirkannya, maka akan mempengaruhi tindakan kita. Karena kita tidak atau kurang memikirkannya, maka tindakan, aksi dan kepedulian kita tentang kejadian pembantaian tersebut kurang mendapat apresisi pula.
Ada baiknya kita belajar kepada sebuah negeri Amerika Serikat, ketika prestasi akademik pelajarnya, terutama di bidang sains dan matematika berada di bawah prestasi akademik pelajar Asia. Fenomena tersebut dipahami mereka sebagai Negara dalam Keadaan Bahaya atau Nation at Risk. Pakar pendidikan berkumpul dalam sebuah konferensi membahas, mendiskusikan persoalan tersebut. Rekomendasi penting dihasilkan dari konferensi tersebut adalah mengharuskan Pengajaran Sejarah Bangsa Amerika kepada seluruh pelajarnya.
Kenapa mesti pengajaran sejarah, bukan pengajaran sains dan matematika yang anjlok itu sebagai jawabannya. Diyakini, kemunduran bangsa berawal dari harga diri dan semangat kebangsaan yang lemah. Penilaian, kepedulian, dan kewaspadaan akan efektif diajarkan melalui pembelajaran sejarah. Eleonara B Masini, seorang futurolog (pakar masa depan) mengatakan krisis masyarakat merupakan krisis individu yang tidak menghargai sejarahnya.
Tragedi Mandor berdarah harus diajarkan kepada semua pelajar di negeri ini. KTSP sangat memungkinkan untuk mengajarkan materi tersebut, tinggal kemauan politik pemerintah saja. Rutinitas kegiatan dalam rangka hari berkabung daerah perlu digalakkan terus, seperti pemasangan bendera setengah tiang, upacara bendera, pemasangan spanduk, dan penghijauan di sekitar makan mandor. Penulis usulkan, perlu diciptakan lagi bertema “Tragedi Mandor Berdarah”. Untuk kepentingan yang lebih besar, tragedi pembantaian atau kekejaman Jepang tersebut perlu menjadi sebuah gerakan yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau forum, sebutlah Forum Peduli Tragedi Mandor Berdarah”. Dari forum tersebut barangkali banyak yang bisa dilakukan.
(Penulis, Dosen FKIP Untan)
Related Posts