KOMPAS
Minggu, 15 Mar 1998
JUANG MANDOR, KUBURAN MASSAL KORBAN JEPANG
|
Makam Juang Mandor |
TAK banyak yang mengetahui, di Desa Mandor -sekitar 88 km dari kota Pontianak- terdapat kuburan massal ribuan korban keganasan penjajah Jepang tahun 1942-1945. Kuburan massal yang dijadikan monumen Makam Juang Mandor itu, terletak di tepi jalan raya yang menghubungkan Pontianak dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sanggau.
Meski hanya kota kecamatan, Mandor memiliki arti penting dalam sejarah Kalimantan Barat. Di sinilah Jepang membantai 21.037 rakyat Kalbar, termasuk 48 pemuka masyarakat Kalbar. Setiap 28 Juni, Pemda Kalbar mengadakan upacara di Makam Juang Mandor, mengenang peristiwa getir ini.
Kekejaman penjajah Jepang waktu itu dapat disaksikan melalui relief-relief pada monumen yang diresmikan pada 28 Juni 1977 silam oleh Gubernur Kalbar (waktu itu) Kadarusno. Relief-relief yang dibuat oleh mahasiswa ASRI Yogyakarta itu memberikan gambaran sekilas kekejaman serdadu Jepang. Di Makam Juang Mandor terdapat 10 kuburan massal. Selain itu, terdapat pula lapangan terbuka yang dulunya dijadikan lokasi pembunuhan massal.Makam ini berada di kawasan hutan lindung yang suasananya cukup menyeramkan.
Makam nomor 10 yang letaknya paling ujung, dihiasi gapura khusus. Konon di sinilah dikuburkan Sultan Pontianak bersama 60 anggota keluarganya. Juga 11 panembahan, raja-raja ecil, serta tokoh masyarakat di Kalimantan Barat. Antara lain bisa disebutkan di sini, Syarif Muhammad Alkadrie (Sultan Pontianak, gugur pada usia 74 tahun), Pangeran Adipati (putra Sultan Pontianak, 31), Gusti Saunan (Panembahan Ketapang, 44), Muhammad Ibrahim (Sultan Sambas, 40), Tengku Idris (Panembahan Sukadana, 50), Gusti Mesir (Penembangan Simpang, 43), Syarif Saleh (Penembahan Kubu, 63), Gusti Abdul Hamid (Penembahan Ngabang, 42), Ade Muhammad Arief (Penembahan Sanggau, 40), Gusti Muhammad Kelip (Penembahan Sekadau, 41), Muhammad Taufiek (Penembahan Mempawah, 63), Raden Abdul Bahry Daru Perdana (Penembahan Sintang), dr Roebini (mertua Wiyogo Atmodarminto, 39, yang saat itu menjabat sebagai direktur rumah sakit Pontianak) dan istrinya Amelia, Tji Bun Kie (wartawan) dan banyak nama lainnya.
Pembantaian ribuan warga Kalbar terjadi karena pemerintah pendudukan Jepang curiga pada gerak-gerik tokoh masyarakat Kalbar. Mereka dinilai dapat mengganggu legitimasi pemerintah pendudukan Jepang. Dalam relief-relief digambarkan prosesi penangkapan dan pembunuhan korban. Setelah tentara Dai Nippon mengetahui rahasia yang disampaikan utusan dari Banjarmasin ke Pontianak, dimulailah penangkapan besar-besaran terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dicurigai. Mereka dimasukkan ke dalam truk, dan dibawa ke lokasi pembantaian (yang berada di kawasan Mandor).
|
Relief Makam Juang Mandor |
Relief itu juga menggambarkan bagaimana tentara Dai Nippon menghabisi korban. Saat-saat pembantaian dilukiskan cukup detail. Para korban antre berjajar menghadap lubang, lalu secara beruntun dipancung dengan pedang samurai. Pembantaian ini dikisahkan pula oleh Tsuno Iseki, orang Jepang yang pernah tinggal di Kalbar pada 1928-1946 dan fasih berbahasa Indonesia, dalam buku berjudul Peristiwa Pembantaian Penduduk Borneo Barat: Pembuktian Peristiwa Pontianak yang terbit Juli 1987 di Jepang. Taizo Watanabe ketika menjabat Duta Besar Jepang untuk Indonesia pernah berkunjung ke Makam Juang Mandor ini. Sejarah gelap pendudukan Jepang di Kalbar memang tak mungkin terlupakan.
***
RIBUAN mayat korban keganasan Jepang ini dibiarkan berserakan di lokasi. Sampai Jepang bertekuk lutut, pasukan Australia mewakili Sekutu masuk ke Mandor yang selama Jepang Berkuasa, merupakan daerah militer terlarang. Tentara Australia membutuhkan waktu tiga bulan untuk mengumpulkan tulang-belulang yang berserakan di sana, dan kemudian bersama penduduk setempat, menguburnya dalam 10 lubang kuburan massal.
Pasukan Sekutu membangun kuburan massal Mandor selama tiga tahun (1946-1949). Di setiap kuburan massal, dibuat bangunan kayu tak berdinding. Setelah Sekutu meninggalkan Indonesia, kuburan massal di Mandor selama 18 tahun tak terawat. Mereka yang hendak berziarah, harus bersusah payah melewati semak-belukar.
Tahun 1973, atas prakarsa Gubernur Kalbar (waktu itu) Kadarusno, makam juang Mandor mulai diperhatikan lagi. Kadarusno memprakarsai ziarah massal ke Mandor pada 28 Juni 1973. Semak belukar pun dibersihkan. Tahun 1976, Pemda Kalbar memugar kawasan Mandor, dengan memugar bangunan yang menaungi kuburan massal dan melebarkan jalan menuju lokasi 10 makam agar bisa dilalui kendaraan. Tahun 1977 Monumen Sejarah Makam Juang Mandor diresmikan. Monumen berbentuk dinding beton berlapis marmer, dengan relief di kanan-kirinya itu dikerjakan para mahasiswa ASRI Yogyakarta.
Menurut cerita Abdus Somad (62), penjaga makam, sebelumnya ia diminta Kadarusno untuk menggali tanah di Mandor. “Ternyata setelah digali, kami menemukan tulang-belulang manusia bertumpuk di dalam tanah, termasuk yang berserakan di sekitar hutan,” kata Somad yang hingga sekarang bekerja sebagai perawat makam. Uniknya, kata pria kelahiran Ketapang (Kalbar) ini, ketika melakukan penggalian di tengah hutan belantara dengan pepohonan yang rimbun (yang kini dikenal dengan Makam No 10), ia menemukan dua jenazah manusia yang masih utuh.
Yang satu, perempuan dalam keadaan tangan terikat ke depan, rambut masih utuh, mata tertutup kain, mengenakan kebaya dan selendang. Jenazah pria, mengenakan pakaian putih dan sepatu. Kaos kaki masih tersimpan di dalam saku kiri celananya. “Namun begitu kena matahari, jenazah itu langsung tinggal kerangka,” ungkapnya. Kedua kerangka itu dipindahkan dan dimakamkan di dekat Monumen Makam Juang Mandor.
***
SAYANGNYA, Makam Juang Mandor belum menjadi obyek wisata sejarah yang dikunjungi banyak wisatawan yang datang ke Kalbar. Menurut penjaga makam Juang Mandor, Abdus Somad, pada hari biasa, hanya ada satu-dua orang yang datang. Pada hari Minggu dan hari-hari tertentu, makam ini dikunjungi masyarakat, termasuk kerabat dan sanak-saudara korban keganasan Jepang yang berziarah.
Di sana, dibangun pendopo yang menggantungkan sejumlah foto korban keganasan Jepang. Sayang, tidak dilengkapi dengan sejarah dan peranan tokoh masyarakat bersangkutan sehingga pengunjung masih menyimpan sejumlah pertanyaan yang tak terjawab. Tampaknya pemda setempat sudah berupaya menjadikan Makam Juang Mandor sebagai obyek wisata sejarah. Hanya mungkin kurang dilengkapi dengan daya tarik lain. Misalnya kios yang menjual buku sejarah kekejaman Jepang di Mandor, suvenir-suvenir khas daerah setempat. Juga mungkin karena tak ada prasarana pendukung seperti rumah makan, atau pemandu yang dapat menjelaskan sejarah Mandor kepada turis-turis asing dan lokal. Entah kurang promosi, entah kurang gencarnya biro perjalanan Kalbar menjual Makam Juang Mandor, sehingga kondisinya kini memprihatinkan dan terkesan kurang perawatan. (adhi ksp)