08 April 2013

Timang Bubu - Permainan Rakyat Sambas Pedalaman yang Nyaris Hilang

Terimakasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada koran Borneo Tribune Pontianak lebih khusus lagi kepada reporter Endang Kusmiyati yang telah sudi meliput dan memposting permainan rakyat sambas yang hampir punah ini. Disini saya mohon izin untuk memposting ulang khazanah sambas yang saya sendiri juga baru tahu sekarang tentang permainan ini. Semoga postingan ini bermanfaat untuk melestarikan Budaya Sambas,,,,,, yuk lansung kita nikmati aja ceritanya..........

Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak



Balon-balon gelombang balon.............
Balon menempuh batang rasau.............
Bangun-bangun saudara bangun……..
Bangun tidur jangan meransau.............

Kalimat-kalimat tersebut meluncur dengan irama dari mulut seorang Long Dolah (73) pawang Timang Bubu. Jika dilihat dari rimanya, maka kalimat itu menyerupai pantun, namun sebenarnya kalimat itu adalah mantra pembuka yang diucapkan oleh sang pawang untuk memanggil bidadari.

Cukup panjang mantra yang diucapkan Long Dolah. Namun karena diucapkan dengan cepat dan menggunakan bahasa ’Sambas Pedalaman’ kata-katanya jadi sulit dicerna. Bukan saja oleh saya yang tidak banyak mengerti bahasa Sambas, tetapi mantra sang pawang juga sulit dimengerti oleh penutur bahasa Sambas.

Tak lama kemudian, bubu di tangan Ipul yang berada persis di depan Long Dolah bergerak. Ipul pemegang bubu adalah bagian dari permainan ini. Seluruhnya terdapat 5 orang pemain Timang Bubu, yaitu pawang yang membacakan mantra, pemegang bubu dan tiga orang pemukul gendang dan rebana, alat musik yang mengiringi permainan tersebut.

Seseorang berbisik kepada saya bahwa itu petanda bidadari yang dipanggil sudah datang.
Bidadari itu memang datang memenuhi panggilan pawang, masuk ke dalam bubu yang dipegang Ipul. Tetapi sosoknya tidak nampak. Hanya gerakan bubu yang teratur, makin lama makin cepat menjadi petanda bahwa bidadari sudah ada di dalamnya.

Nyiur Gading demikian nama bidadari itu, menurut Long Dolah berdiam di Kayangan. Meski jauh, bidadari siap datang apabila dipanggil. Kapanpun.

Sejak Long Dolah mempelajari Timang Bubu saat usianya masih muda, sejak itu dia dapat melakukan kontak dengan bidadari tersebut. Namun meski demikain dia mengaku belum pernah bertemu dengan wajah bidadari itu. ”Hanya cantik jak,” katanya ketika ditanya di sela-sela atraksi Timang Bubu saat menyambut kedatangan gubernur Kalbar Usman Ja’far dalam rangka menutup rangkaian kegiatan peringatan HUT RI yang ke-62 beberapa waktu lalu.

***

Timang bubu adalah permainan rakyat Sambas tepatnya dari desa Simpang Empat kecamatan Tangaran. Disebut Timang Bubu karena mantera yang diucapkan dalam ritual itu adalah berbentuk pujian –timang-timangan kepada bidadari Nyiur Gading. Sedangkan bubu adalah alat yang dipakai sebagai ’tempat’ singgah bidadari.

Bubu sendiri adalah sebuah alat yang umumnya digunakan masyarakat desa untuk menjebak ikan, baik di sungai atau pun rawa. Alat ini terbuat dari rotan dengan panjang kurang lebih 2 meter, bentuknya dibuat agak mengerucut. Sebenarnya ada dua lobang pada bubu ini, namun lubang yang lebih kecil di bagian puncak kerucut bubu ini ditutup dengan irisan bola yang dipotong setengah. Ibarat bubu penjebak ikan, irisan bola setengah yang terletak di ujung bubu itu dimaksudkan agar ikan tidak bisa keluar bila telah masuk bubu.

Melihat permainan ini sepintas orang berpikir bahwa Timang Bubu adalah ritual yang dilakukan oleh nelayan/pencari ikan untuk mendapatkan hasil ikan yang lebih banyak. Namun sebenarnya Timang Bubu adalah murni permainan rakyat yang kini sudah sulit untuk disaksikan.
Beberapa generasi dahulu permainan ini cukup populer di tengah masyarakat. Biasanya permainan Timang Bubu dipertontonkan saat ada pesta pernikahan. Karena cukup menarik perhatian pada generasi Long Dolah cukup banyak orang yang berminat belajar menguasai permainan tersebut.

Namun seperti diungkapkan Abdul Amin (56) tokoh masyarakat kecamatan Tangaran, tradisi permainan ini sekarang pun sudah nyaris hilang. ”Sudah jarang orang yang mau belajar permainan ini,” ungkapnya.

***

Ketika pertama kali mendengar permainan itu dimainkan, dari musik yang diperdengarkan memang ada kesan mistis di sana. Benar saja, karena dalam permainan itu memang dilibatkan mahkluk halus yang dalam bahasa Abdul Amin disebutnya sebagai bidadari. ”Timang bubu ini adalah budaya warisan yaitu untuk memanggil bidadari,” katanya.

Permainannya memang sangat sederhana. Seorang dari pemain memegang bubu. Setelah mantra di atas dibaca, rebana dan gendang dimainkan. Maka bubu pun bergoyang. Semakin panjang syair yang dibacakan, maka semakin cepat pula bubu itu bergoyang ke arah kanan dan kiri. Alunan gendang dan rebana yang mengikutinya juga semakin cepat. Sepintas jika dilihat, bubu itu seperti digoyangkan, padahal yang sebenarnya tidak.

”Bubu itu tidak digoyang oleh Ipul si pemegang bubu. Tapi yang mengoyangnya bidadari. Ipul hanya memegang saja supaya bisa terkendali,” ungkap Abdul Amin.

Timang Bubu sejatinya adalah permaian rakyat Sambas yang sering dipertontonkan pada acara pernikahan. Namun, kini semakin jarang dimainkan. Masyarakat lebih suka menggunakan band atau organ tunggal untuk hiburan pesta pernikahan atau sejenisnya. Hal ini pulalah yang menyebabkan permainan ini semakin jauh dari masyarakatnya.

***

Selain sebagai tontonan Timang Bubu juga bisa digunakan sebagai metode mencari barang yang hilang.

”Zaman dolo be, mun ade kejahatan misalnye ade yang kehilangan, Timang Bubu bisa jua untuk nemukan barang itok,” ungkap Long Dolah pemilik timang bubu.

Menurut Long Dolah dengan Timang Bubu ini bisa diketahui siapa yang mengambil barang yang hilang itu. Dengan bantuan pemegang bubu, maka bubu itu akan bergerak menuju sang ”pencuri”. Dalam ritualnya, kendati bubu dipegang oleh seseoramg, namun bubu tidak mungkin bergerak mengikuti keinginan si pemegang. Justru si pemegang bubulah yang mengikut gerak bubu tersebut.

Ritual mencari ”pencuri” dalam permainan timang bubu dimulai dengan membakar kemenyan. Kemenyan ini dimaksudkan sebagai sarana untuk memanggil bidadari yang kemudian akan menjadi ”nyawa” bagi bubu.

Bila bidadari telah menjadi ”nyawa” bubu tersebut, maka akan dengan sendirinya bubu bergerak.
Menurut pria ini, syair-syair yang dibacakan adalah syair untuk memuji sang bidadari. Bahasa yang digunakan adalah bahasa masyarakat pedalaman Sambas. Bahasa yang kini menurutnya telah jarang digunakan lagi, bahkan arti dari tiap katanya juga mempunyai perbedaan dengan bahasa Sambas yang umum digunakan.

Ya...bombon......
Ya...lokan....
Ya....bombon....
Tatak lokan main bersari.........
Main jua main dipenudi...........
Selokan tempat menari.................

Long Dolah kembali melantunkan sebuah mantra permainan Timang Bubu. Namun kali ini bubu tidak sedang dimainkan. Bubu itu hanya diletakan di belakangnya. Terbungkus dengan kain hitam dan tak lagi digerakan. Menurut Long Dolah kini tidak banyak lagi orang Sambas khususnya masyarakat kecamatan Tangaran yang mau belajar tentang permainan ini. Kalaupun ada, belajarnya pun tidak tuntas. Karena menurutya untuk bisa menjadi pawang Timang Bubu tidak sembarang orang bisa melakukannya.

”Kalau hanya sekedar belajar syairnya mungkin bisa, tapi untuk bisa mempunyai bidadari yang bisa menjadi ”nyawa” bubu sampai sekarang ini belum ada,” Dalam ungkapan Long Dolah tersirat makna, bahwa semakin lama permainan rakyat tersebut akan menghilang dan tidak lagi dikenali. Hal itu jelas tampak pada muka-muka pengunjung yang datang pada pertunjukan permaian timang bubu tersebut. Setiap mata pengunjung dengan seksama memperhatikan gerak bubu yang yang dipegang Ipul. Padahal jika diperhatikan dengan seksama, permainan itu monoton saja. Bubu yang dipegang Ipul bergerak ke sana ke mari. Ipul berusaha memegang bubu yang terus bergerak makin lama makin cepat.

Namun agaknya bukan gerakan itu yang menjadi perhatian penonton. Beberapa di antara mereka mengaku penasaran, ingin tahu seperti kesudahan permainan tersebut.

Seorang panitia, Sawitri yang juga seorang pengajar SMA di kecamatan Tangarang mengaku tidak tahu dengan permainan Timang Bubu itu. ”Walaupun saya lahir dan dibesarkan di Sambas, tapi saya tidak tahu banyak tentang permainan Timang Bubu itu,” katanya.

Alumni Fakultas Pertanian Untan ini juga mengakui bahwa permainan Timang Bubu memang jarang dipertunjukan lagi. Bahkan sampai usianya memasuki seperempat abad, seingatnya tidak lebih dari 5 kali ia melihat pertunjukan permainan itu. Selain itu, permainan Timang Bubu juga memerlukan kemampuan khusus. Terutama bagi sang pawang, yang harus bisa mendatangkan dan mengembalikan bidadari ”nyawa” sang bubu.




Related Posts

Comments
1 Comments

1 comment:

Passan Pala' Kesah

Awalnya blog ini dibuat hanya iseng untuk mendokumentasikan dan mengumpulkkan khazanah tanah kelahiran yang hampir terlupakan generasi muda. Berawal dari postingan permainan rakyat dan kamus mini bahasa Melayu Sambas, admin terus memperbaiki SEO dan postingan dan berupaya memenuhi apa yang diinginkan pembaca blog ini. Setelah di analisa, ternyata kebanyakan pengunjung blog ini mencari tentang sejarah kelam Sambas 1999.

Inginya blog ini difokuskan untuk sejarah, budaya dan segala sesuatu yang terkait dengan tanah kelahiran, namun pada perjalanannya admin banyak menemukan artikel menarik dan sengaja direpost disini untuk arsip pribadi. Sungguh sangat tidak disangka ternyata banyak juga pembaca punya ketertarikan yang sama dengan fenomena akhir zaman yang semakin nyata. Untuk saat ini admin akan fokus pada artikel tentang Dajjal dan Imam Mahdi yang dipastikan sebentar lagi akan tiba. Apabila pembaca menemukan artikel yang menarik haraplah berikan hujatan, celaan atau komentarnya...^_^

Jika ada yang tertarik untuk menjadi penulis di blog ini, atau tukar link sesama blogger, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi admin

Hariyono Al Kifri