Wasilah
Urgensi posisi Mursyid yang sangat penting dalam thariqah sebagai jalan menuju Tuhan sebenarnya erat kaitannya dengan masalah wasilah yang oleh Allah diperintahkan agar orang-orang mu’min mencarinya :
Urgensi posisi Mursyid yang sangat penting dalam thariqah sebagai jalan menuju Tuhan sebenarnya erat kaitannya dengan masalah wasilah yang oleh Allah diperintahkan agar orang-orang mu’min mencarinya :
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
carilah wasilah (yang menyampaikanmu) kepada Allah, serta berjuanglah di
jalan-Nya, agar kamu menang. (al-Maidah, 5:35)
Dari uraian-uraian
berikut akan dipahami bahwa Mursyid adalah pembawa wasilah sebagaimana Jibril
adalah pembawa Buraq yang oleh Imam Zubaidi disebut sebagai kendaraan para nabi
[Syarh al-Nawawi Shahih Muslim, II: 210]
Pengertian Wasilah
Wasilah artinya alat
atau menurut definisi al-Razi dan Louis Ma-luf yaitu alat yang dipergunakan
untuk mendekatkan sesuatu kepada sesuatu yang lain [Mukhtar al-Shihah, I: 300;
al-Munjid fial-Lughah: 900]. Menurut Abd al-Rauf, wasilah adalah alat yang
memudahkan sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain, atau dengan kata lain
yang memungkinkan tercapainya suatu tujuan [al-Ta’arif:726]. Dalam kehidupan
sehari-hari, manusia hampir tidak pernah lepas dari yang dimanakan wasilah
dengan berbagai bentuknya.
Seseorang tidak mungkin
bisa berkomunikasi dengan keluarganya yang tinggal di luar negri, misalnya,
tanpa menggunakan wasilah yang disebut telepon. Hubungan melalui telepon
semacam ini adalah hubungan langsung, bukan hubungan melalui perantara. Telepon
bukan perantara, melainkan alat yang memungkinkan terjadinya hubungan langsung
antara dua orang yang saling berjauhan. Perantara sangat berbeda dengan alat
(wasilah). Dalam bahasa Arab, perantara biasa disebut dengan wasithah ; bukan
wasilah. Uang dan kendaraan adalah contoh lain dari wasilah yang sangat
dibutuhkan untuk mempermudah tercapainya tujuan.
Dalam kaitannya dengan
kehidupan beragama, yang dimaksud wasilah adalah alat yang digunakan untuk
menyampaikan diri kita. Dengan pengertian semacam ini, maka sudah barang tentu
alat tersebut sudah harus bisa sampai terlebih dahulu kepada Allah, padahal
tidak ada sesuatu yang dapat sampai kepada Allah kecuali yang berasal dari
Allah itu sendiri. Satu-satunya yang dapat sampai kepada Allah hanyalah cahaya
(Nur) Allah sendiri, sebagaimana tidak ada yang dapat sampai kepada matahari
kecuali cahaya matahari itu sendiri. Dengan demikian, wasilah yang dimaksud
dalam ayat 35 Surah al-Maidah pasti bukan amal saleh, bukan pula keimanan dan
ketaatan sebagaimana yang dipahami orang selama ini, melainkan Cahaya (Nur)
Allah.
Perintah Tuhan dalam
ayat 35 Surat al-Maidah tersebut adalah perintah mencari wasilah, bukan perintah
mencari amal saleh, keimanan, dan keta’atan. Mengenai tiga perkara ini perintah
Tuhan yang muncul adalah mengerjakan, sehingga redaksi yang digunakan Tuhan
dalam al-Qur’an bukan ibtaghu, melainkan i’malu (kerjakanlah), aminu
(berimanlah), dan athi’u (taatlah) atau kata-kata lain yang menjadi
derivasinya. Jadi, kata ibtaghu (carilah) dalam ungkapan ibtaghu al-wasilata
menjadi kata kunci dalam memahami perintah ini.
Dalam peristiwa
spektakuler Isra-Miraj, selain unsur Jibril dan Muhammad, terdapat satu unsur
lagi yang terlibat, yaitu Buraq, kendaraan para nabi. Dikatakan kendaraan ini
disebut buraq karena warnanya yang maha putih, cahayanya yang maha terang,
kecepatannya yang maha tinggi, dan segala sesuatu yang melekat pada buraq mirip
dengan kilat semuanya diluar persepsi manusia. Kata buraq memang terambil dari
barq (kilat) [Lisan al-Arab, X: 15]. Dalam riwayat yang berasal dari anas bin
Malik r.a. disebutkan bahwa buraq itu lebih besar daripada keledai dan lebih
kecil daripada bagal (peranakan kuda jantan dan keledai betina) [Shahih
al-Bukhari, II: 1173; Shahih Muslim, I: 145, 150].
Bahasa yang digunakan
oleh Rasulullah SAW dalam menggambarkan karakteristik buraq sebagai kuda
terbang adalah bahasa kias (majaz). Hal itu tampaknya memang disengaja oleh
Nabi SAW agar bisa dipahami oleh akal umat sesuai dengan tingkat peradaban dan
pengetahuan mereka ketika itu; dan bahasa semacam ini sangat sering digunakan
oleh Beliau SAW dalam al-Hadis dan bahkan juga oleh Allah SWT dalam al-Quran.
Dan Allah SWT tidak mengutus seorang rasul-pun kecuali dengan bahasa yang
dipahami kaumnya agar ia bisa memberikan penjelasan yang terang.
“Dan tidaklah Kami
mengutus seorang rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya agar ia memberikan
penjelasan yang terang,” (Ibrahim, 14:4).
Benda tercepat yang
dipahami bangsa Arab ketika itu adalah kuda untuk binatang darat dan burung
untuk binatang udara, sehingga sangat wajar apabila Nabi SAW menggambarkan
buraq sebagai binatang serupa kuda atau keledai yang bisa terbang sebagai
perpaduan antara kecepatan kuda dan burung. Sejalan dengan perjalanan sang
waktu, peradaban dan pengetahuan manusia berkembang dengan pesat. Dari
penelitian-penelitian para ilmuwan berhasil diketahui bahwa benda yang memiliki
kecepatan paling tinggi bukan lagi kuda atau burung; kecepatan itu dimiliki
oleh cahaya. Dari buku-buku fisika diketahui bahwa kecepatan cahaya adalah
300.000 km/detik.
Andaikata Rasulullah
SAW hidup dan mengalami Isra-Miraj pada abad ini, abad teknologi yang dengan
berbagai jenis kendaraan super canggih, maka dapat dipastikan bahwa buraq yang
dikendarai beliau dalam peristiwa spektakuler itu tidak akan digambarkan
sebagai kuda terbang yang lebih cepat dari kuda atau burung, melainkan sebagai
benda yang jauh lebih cepat daripada cahaya fisik, yang tiada lain adalah
Cahaya Allah sendiri, Cahaya Metafisika Ketuhanan, yang hakikatnya hanya
diketahui oleh Sang Pemilik.
Jadi, buraq adalah
Cahaya (Nur) Tuhan, dan Cahaya (Nur) inilah yang disebut wasilah. Sebagaimana
unsur Jibril, keberadaan unsur buraq mutlak diperlukan dalam menempuh
perjalanan menuju Tuhan.
Lebih dari itu, amal
saleh yang sering disebut-sebut dalam kasus tiga orang yang terjebak dalam goa,
sebenarnya juga kurang tepat apabila disebut sebagai wasilah. Di sini perlu
ditegaskan bahwa ketiga orang yang terjebak dalam goa itu sesungguhnya tidak
berwasilah dengan amal saleh mereka. Mereka hanya memohon ganjaran kepada Allah
atas amal saleh yang pernah mereka lakukan, dan ganjaran yang mereka minta
adalah berupa pembebasan mereka dari jebakan batu yang menutup pintu goa itu.
Tidak seorang pun dari
mereka yang mengatakan ad’uka bi (wasilati) amal (aku memohon kepada-Mu dengan
(berwasilah pada amalku); mereka hanya mengatakan:
”in kunta ta’lamu
anni fa’altu dzalika ibtigha-a wajhika fafruj lana minha furjatan nara
minhassama (jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan hal itu semata-mata
karena mencari wajah-Mu, maka bukakanlah satu lobang yang darinya kami bisa
melihat langit)” [Shahih al-Bukhari, II: 739; Shahih Muslim, IV: 2099;
Shahih Ibni Hibban, III: 178-179-251-252].
Artinya, dengan
menyebut amal saleh mereka, sesungguhnya mereka hanya memohon balasan untuk
amal saleh itu, yaitu berupa dibukakannya pintu goa yang tersumbat batu
tersebut [Fath al-Bari, VI: 510].
Demikian pula, pendapat
bahwa al-Asma al-Husna (nama-nama Allah SWT yang paling indah) adalah wasilah
atas dasar Firman Allah SWT dan Allah SWT memiliki nama-nama yang paling indah,
maka serulah Dia dengan asma-asma itu [Al-A’raf, 7:180], juga kurang tepat,
sebab nama-nama Allah yang dimaksud semuanya sudah jelas sehingga tidak perlu
dicari lagi.
Bukankah yang
diperintahkan Tuhan dalam ayat ke-35 surah al-Maidah itu adalah mencari wasilah
yang diungkapkan dengan kata-kata wabtaghu ilayhil wasilata dan carilah wasilah
(yang menyampaikan) kepada-Nya ?
Lebih dari itu,
terjemahan paling tepat dari ungkapan fad-uhu biha dalam ayat ke 180 surah
al-Araf tersebut adalah maka serulah Dia dengan menyebut nama-nama itu, bukan
maka bermohonlah kepada-Nya dengan (berwasilah dengan) nama-nama itu, sejalan
dengan firman Allah lainnya yang berbunyi:
“Serulah Allah atau
serulah al-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu menyeru (Tuhanmu), Dia
mempunyai al-Asma’ al-Husna.” (Al-Isra’, 17:110)
Diriwayatkan dari Ibn
Abbas r.a. bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW sedang shalat di Mekah dan
menyeru Tuhannya dengan “Ya Allah Ya Rahman atau Ya Rahman Ya Rahim.”
Mendengar hal ini, orang-orang Musyrik berkata, Lihatlah orang yang bersembunyi
ini (Nabi saw); dia melarang kita menyembah dua tuhan, sementara dia sendiri
menyeru dua Tuhan. Maka turunlah ayat 110 surat Al-isra’ (17):
“Serulah Allah atau
serulah al-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu menyeru (Tuhanmu), Dia
mempunyai al-Asma al-Husna.” [Al-Durr al-Mantsur, V: 348; Zad al-Masir, V: 98;
Tafsir al-Qurthubi, VII: 325; Fath al-Qadir, II: 268; Tafsir al-Thabari, XV:
182].
Qalbu
Rasul sebagai Tempat Wasilah
Di dalam al-Qur’an,
Allah SWT membuat perumpamaan tentang Cahaya (nur)-Nya yang diungkapkan dengan
redaksi :
”Perumpamaan
cahaya-Nya adalah seperti misykah lobang dinding yang tidak tembus sebagai
tempat lampu yang didalamnya ada mishbah lampu dan mishbah itu ada di dalam
Zujajah kaca.” (Al-Nur, 24:35).
Menurut Ka’ab al-Ahbar
dan Ibn Jarir r.a. yang dimaksud Nurihi alam ayat ini adalah Nuri Muhammad, Nur
Muhammad [Tafsir al-Qurthubi, XII: 259]. Ketika ditanya oleh Ibn Abbas tentang
ayat ini, lebih lanjut Ka’ab mengatakan:
“Ini adalah
perumpamaan yang dibuat oleh Allah SWT untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alayhi
wasallam; al-misykah adalah dada (jasmani)-nya, al-Zujajah adalah qalbu
(rohani)-nya, sedangkan al-mishbah adalah nubuwat.” [Tafsir al-Bughawi,
III: 346].
Komentar senada
diungkapkan oleh Ibn Umar r.a. yang dikeluarkan oleh Imam al-Thabrani, Ibn
‘Adi, Ibn Mardawiyyah, dan Ibn. ‘Asakir:
“Al-misykah adalah
rongga dada (jasmani) Muhammad saw, al-zujajah qalbu (rohani)-nya sedangkan
al-mishbah adalah nur yang ada didalam qalbunya.” [Majma al-Zawaid,
VII:83; al-Mu’jam al-Awsath, II: 235; al-Mu’jam al-Kabir, XII: 317; Tafsir
al-Qurthubi, XII: 263; Fath al-Qadir, IV: 36].
Cahaya (nur) yang ada
dalam qalbu Nabi tersebut, atau yang biasa disebut dengan Nur Muhammad,
termasuk didalamnya al-Qur’an yang juga disebut dengan Cahaya (nur) yang
diturunkan kedalam qalbunya [Al-Nisa, 4: 174; Al-Baqarah, 2:97] merupakan
cahaya Allah ada dibumi sebagai satu ujung sedangkan ujung yang lain ada disisi
Allah sendiri. Hal ini ditegaskan dengan kelanjutan firman-Nya dalam ayat yang
sama:
“Cahaya (Allah) di
atas cahaya (Muhammad); Allah menuntun kepada cahaya-Nya orang yang dikehendaki.”
Maksudnya adalah bahwa
Cahaya Allah berhubungan langsung dengan Cahaya Muhammad, karena pada
hakikatnya Cahaya Allah dan Cahaya Muhammad adalah SATU, dan ditempat lain
digambarkan sebagai tali Allah yang harus dipegangi kuat-kuat. Dalam kaitan ini
Allah berfirman :
“Dan berpeganglah secara teguh kepada
tali Allah, dan janganlah bercerai-berai”. (Ali Imran, 3: 103)
Ayat lain yang
tampaknya juga penting dikemukakan disini untuk memahami keterkaitan Cahaya
(Nur) Tuhan dengan qalbu orang mu’min sebagai singgasana nur itu, disamping
keterkaitannya dengan hidayah, dzikir, dan perjalanan pulang menuju Tuhan
adalah:
“Barang siapa yang
dilapangkan Allah dadanya untuk Islam, maka berada diatas Cahaya (Nur) Tuhannya
; maka celakalah orang-orang yang berhati keras sehingga tidak berdzikir kepada
Allah; mereka berada dalam kesesatan yang nyata”. (Al-Zumar, 39:22)
Imam al-Qurthubi
mengutip sebuah hadits yang berasal dari Ibn Mas’ud yang mengatakan bahwa para
sahabat bertanya kepada Nabi saw tentang ayat itu, Bagaimana dada orang itu
menjadi lapang ? Rasulullah saw menjawab :
Jika Cahaya (Nur) itu
masuk ke dalam qalbunya, maka ia menjadi lapang dan terbuka. Para sahabat masih
bertanya, Apa tanda-tanda hal itu ? Rasulullah saw menjawab : Melakukan
perjalanan pulang ke negeri abadi (akhirat) dan meninggalkan negeri tipu daya
(dunia) serta bersiap-siap menjemput kematian sebelum tiba saatnya [Tafsir
al-Qurthubi (Al-Jami’ li Ahkam al-Quran), XV: 247].
Dari informasi di atas
semakin jelas bahwa Cahaya (Nur) Allah SWT bersemayam di dalam qalbu orang yang
dikehendaki lapang dadanya oleh Allah SWT; dan karena kondisi orang semacam ini
dioposisikan dengan orang yang berhati keras sehingga tidak berdzikir kepada
Allah SWT, maka berarti bahwa orang yang didalam qalbunya terdapat Cahaya (Nur)
Allah SWT tiada lain adalah ahli dzikir, orang yang tidak pernah lepas dari
berdzikir kepada Allah SWT. Tidak seorang pun yang mendapat gelar sebagai ahli
dzikir kecuali Nabi SAW sendiri dan hamba-hamba Allah SWT yang oleh beliau
disebut sebagai mafatih al-dzikr kunci-kunci dzikir; mereka adalah wali-wali
Allah yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu langsung
berdzikir juga. Mereka itulah para ‘ulama yang disebut sebagai waratsah
al-anbiya ahli waris para nabi, yang kepada mereka Allah mewariskan Al-Qur’an,
sehingga di qalbu mereka itulah wasilah atau Nur Tuhan bersemayam.
Mencari dan melihat
mereka adalah kewajiban yang diperintahkan Allah kepada orang-orang yang
beriman. Menemukan mereka berarti menemukan wasilah. Dengan wasilah, mereka
akan dapat berhubungan langsung dengan Allah serta memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dari-Nya, sebagaimana bumi berhubungan langsung dengan
matahari melalui cahayanya sehingga memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
dari matahari itu sendiri Rabithah (Merabit)
Unsur lain yang juga
sangat fundamental dalam thariqah sebagai jalan menuju Tuhan dan sekaligus
sebagai teknik berdzikir efektif adalah rabithah al-mursyid (merabit mursyid)
yang dalam istilah Imam al-Munawi disebut dengan shuhbat al-mursyid bersahabat
dengan mursyid, yaitu ketika ia menyinggung cara pencapaian akhlak yang terpuji
dalam al-Faydh al-Qadir-nya:
Cara memperoleh akhlak
yang terpuji adalah dengan memperbanyak dzikir sambil bersahabat dengan mursyid
yang sempurna [Faydh al-Qadir, III: 467].
Bersahabat dengan
mursyid melahirkan akhlak yang agung, menyemaikan kesadaran keagamaan yang
benar, dan membangkitkan glora cinta ilahi yang tersalur dari kalbu mursyid ke
dalam kalbu murid. Bersahabat dengan mursyid yang sempurna adalah langkah awal
yang harus ditempuh dalam perjalanan menuju Tuhan. Perjalanan ini sekaligus
menjadi sarana diagnosa dan terapi terhadap penyakit-penyakit yang dijangkitkan
oleh virus paling ganas bernama Iblis laknatullah.
Oleh : Syekhul Mu'min