20 March 2014

Kendaraan Rasulullah Irsa' Mi'raj adalah Nur (Wasilah)

Wasilah

Urgensi posisi Mursyid yang sangat penting dalam thariqah sebagai jalan menuju Tuhan sebenarnya erat kaitannya dengan masalah wasilah yang oleh Allah diperintahkan agar orang-orang mu’min mencarinya :

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (yang menyampaikanmu) kepada Allah, serta berjuanglah di jalan-Nya, agar kamu menang. (al-Maidah, 5:35)

Dari uraian-uraian berikut akan dipahami bahwa Mursyid adalah pembawa wasilah sebagaimana Jibril adalah pembawa Buraq yang oleh Imam Zubaidi disebut sebagai kendaraan para nabi [Syarh al-Nawawi Shahih Muslim, II: 210]

Pengertian Wasilah

Wasilah artinya alat atau menurut definisi al-Razi dan Louis Ma-luf yaitu alat yang dipergunakan untuk mendekatkan sesuatu kepada sesuatu yang lain [Mukhtar al-Shihah, I: 300; al-Munjid fial-Lughah: 900]. Menurut Abd al-Rauf, wasilah adalah alat yang memudahkan sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain, atau dengan kata lain yang memungkinkan tercapainya suatu tujuan [al-Ta’arif:726]. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hampir tidak pernah lepas dari yang dimanakan wasilah dengan berbagai bentuknya.

Seseorang tidak mungkin bisa berkomunikasi dengan keluarganya yang tinggal di luar negri, misalnya, tanpa menggunakan wasilah yang disebut telepon. Hubungan melalui telepon semacam ini adalah hubungan langsung, bukan hubungan melalui perantara. Telepon bukan perantara, melainkan alat yang memungkinkan terjadinya hubungan langsung antara dua orang yang saling berjauhan. Perantara sangat berbeda dengan alat (wasilah). Dalam bahasa Arab, perantara biasa disebut dengan wasithah ; bukan wasilah. Uang dan kendaraan adalah contoh lain dari wasilah yang sangat dibutuhkan untuk mempermudah tercapainya tujuan.


Dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, yang dimaksud wasilah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan diri kita. Dengan pengertian semacam ini, maka sudah barang tentu alat tersebut sudah harus bisa sampai terlebih dahulu kepada Allah, padahal tidak ada sesuatu yang dapat sampai kepada Allah kecuali yang berasal dari Allah itu sendiri. Satu-satunya yang dapat sampai kepada Allah hanyalah cahaya (Nur) Allah sendiri, sebagaimana tidak ada yang dapat sampai kepada matahari kecuali cahaya matahari itu sendiri. Dengan demikian, wasilah yang dimaksud dalam ayat 35 Surah al-Maidah pasti bukan amal saleh, bukan pula keimanan dan ketaatan sebagaimana yang dipahami orang selama ini, melainkan Cahaya (Nur) Allah.

Perintah Tuhan dalam ayat 35 Surat al-Maidah tersebut adalah perintah mencari wasilah, bukan perintah mencari amal saleh, keimanan, dan keta’atan. Mengenai tiga perkara ini perintah Tuhan yang muncul adalah mengerjakan, sehingga redaksi yang digunakan Tuhan dalam al-Qur’an bukan ibtaghu, melainkan i’malu (kerjakanlah), aminu (berimanlah), dan athi’u (taatlah) atau kata-kata lain yang menjadi derivasinya. Jadi, kata ibtaghu (carilah) dalam ungkapan ibtaghu al-wasilata menjadi kata kunci dalam memahami perintah ini.

Dalam peristiwa spektakuler Isra-Miraj, selain unsur Jibril dan Muhammad, terdapat satu unsur lagi yang terlibat, yaitu Buraq, kendaraan para nabi. Dikatakan kendaraan ini disebut buraq karena warnanya yang maha putih, cahayanya yang maha terang, kecepatannya yang maha tinggi, dan segala sesuatu yang melekat pada buraq mirip dengan kilat semuanya diluar persepsi manusia. Kata buraq memang terambil dari barq (kilat) [Lisan al-Arab, X: 15]. Dalam riwayat yang berasal dari anas bin Malik r.a. disebutkan bahwa buraq itu lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada bagal (peranakan kuda jantan dan keledai betina) [Shahih al-Bukhari, II: 1173; Shahih Muslim, I: 145, 150].

Bahasa yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam menggambarkan karakteristik buraq sebagai kuda terbang adalah bahasa kias (majaz). Hal itu tampaknya memang disengaja oleh Nabi SAW agar bisa dipahami oleh akal umat sesuai dengan tingkat peradaban dan pengetahuan mereka ketika itu; dan bahasa semacam ini sangat sering digunakan oleh Beliau SAW dalam al-Hadis dan bahkan juga oleh Allah SWT dalam al-Quran. Dan Allah SWT tidak mengutus seorang rasul-pun kecuali dengan bahasa yang dipahami kaumnya agar ia bisa memberikan penjelasan yang terang.

Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya agar ia memberikan penjelasan yang terang,” (Ibrahim, 14:4).

Benda tercepat yang dipahami bangsa Arab ketika itu adalah kuda untuk binatang darat dan burung untuk binatang udara, sehingga sangat wajar apabila Nabi SAW menggambarkan buraq sebagai binatang serupa kuda atau keledai yang bisa terbang sebagai perpaduan antara kecepatan kuda dan burung. Sejalan dengan perjalanan sang waktu, peradaban dan pengetahuan manusia berkembang dengan pesat. Dari penelitian-penelitian para ilmuwan berhasil diketahui bahwa benda yang memiliki kecepatan paling tinggi bukan lagi kuda atau burung; kecepatan itu dimiliki oleh cahaya. Dari buku-buku fisika diketahui bahwa kecepatan cahaya adalah 300.000 km/detik.

Andaikata Rasulullah SAW hidup dan mengalami Isra-Miraj pada abad ini, abad teknologi yang dengan berbagai jenis kendaraan super canggih, maka dapat dipastikan bahwa buraq yang dikendarai beliau dalam peristiwa spektakuler itu tidak akan digambarkan sebagai kuda terbang yang lebih cepat dari kuda atau burung, melainkan sebagai benda yang jauh lebih cepat daripada cahaya fisik, yang tiada lain adalah Cahaya Allah sendiri, Cahaya Metafisika Ketuhanan, yang hakikatnya hanya diketahui oleh Sang Pemilik.

Jadi, buraq adalah Cahaya (Nur) Tuhan, dan Cahaya (Nur) inilah yang disebut wasilah. Sebagaimana unsur Jibril, keberadaan unsur buraq mutlak diperlukan dalam menempuh perjalanan menuju Tuhan.

Lebih dari itu, amal saleh yang sering disebut-sebut dalam kasus tiga orang yang terjebak dalam goa, sebenarnya juga kurang tepat apabila disebut sebagai wasilah. Di sini perlu ditegaskan bahwa ketiga orang yang terjebak dalam goa itu sesungguhnya tidak berwasilah dengan amal saleh mereka. Mereka hanya memohon ganjaran kepada Allah atas amal saleh yang pernah mereka lakukan, dan ganjaran yang mereka minta adalah berupa pembebasan mereka dari jebakan batu yang menutup pintu goa itu.

Tidak seorang pun dari mereka yang mengatakan ad’uka bi (wasilati) amal (aku memohon kepada-Mu dengan (berwasilah pada amalku); mereka hanya mengatakan:

in kunta ta’lamu anni fa’altu dzalika ibtigha-a wajhika fafruj lana minha furjatan nara minhassama (jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan hal itu semata-mata karena mencari wajah-Mu, maka bukakanlah satu lobang yang darinya kami bisa melihat langit)” [Shahih al-Bukhari, II: 739; Shahih Muslim, IV: 2099; Shahih Ibni Hibban, III: 178-179-251-252].

Artinya, dengan menyebut amal saleh mereka, sesungguhnya mereka hanya memohon balasan untuk amal saleh itu, yaitu berupa dibukakannya pintu goa yang tersumbat batu tersebut [Fath al-Bari, VI: 510].

Demikian pula, pendapat bahwa al-Asma al-Husna (nama-nama Allah SWT yang paling indah) adalah wasilah atas dasar Firman Allah SWT dan Allah SWT memiliki nama-nama yang paling indah, maka serulah Dia dengan asma-asma itu [Al-A’raf, 7:180], juga kurang tepat, sebab nama-nama Allah yang dimaksud semuanya sudah jelas sehingga tidak perlu dicari lagi.

Bukankah yang diperintahkan Tuhan dalam ayat ke-35 surah al-Maidah itu adalah mencari wasilah yang diungkapkan dengan kata-kata wabtaghu ilayhil wasilata dan carilah wasilah (yang menyampaikan) kepada-Nya ?

Lebih dari itu, terjemahan paling tepat dari ungkapan fad-uhu biha dalam ayat ke 180 surah al-Araf tersebut adalah maka serulah Dia dengan menyebut nama-nama itu, bukan maka bermohonlah kepada-Nya dengan (berwasilah dengan) nama-nama itu, sejalan dengan firman Allah lainnya yang berbunyi:

Serulah Allah atau serulah al-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu menyeru (Tuhanmu), Dia mempunyai al-Asma’ al-Husna.” (Al-Isra’, 17:110)

Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a. bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW sedang shalat di Mekah dan menyeru Tuhannya dengan “Ya Allah Ya Rahman atau Ya Rahman Ya Rahim.” Mendengar hal ini, orang-orang Musyrik berkata, Lihatlah orang yang bersembunyi ini (Nabi saw); dia melarang kita menyembah dua tuhan, sementara dia sendiri menyeru dua Tuhan. Maka turunlah ayat 110 surat Al-isra’ (17):

“Serulah Allah atau serulah al-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu menyeru (Tuhanmu), Dia mempunyai al-Asma al-Husna.” [Al-Durr al-Mantsur, V: 348; Zad al-Masir, V: 98; Tafsir al-Qurthubi, VII: 325; Fath al-Qadir, II: 268; Tafsir al-Thabari, XV: 182].

 Qalbu Rasul sebagai Tempat Wasilah

Di dalam al-Qur’an, Allah SWT membuat perumpamaan tentang Cahaya (nur)-Nya yang diungkapkan dengan redaksi :

Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti misykah lobang dinding yang tidak tembus sebagai tempat lampu yang didalamnya ada mishbah lampu dan mishbah itu ada di dalam Zujajah kaca.” (Al-Nur, 24:35).

Menurut Ka’ab al-Ahbar dan Ibn Jarir r.a. yang dimaksud Nurihi alam ayat ini adalah Nuri Muhammad, Nur Muhammad [Tafsir al-Qurthubi, XII: 259]. Ketika ditanya oleh Ibn Abbas tentang ayat ini, lebih lanjut Ka’ab mengatakan:

 “Ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allah SWT untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alayhi wasallam; al-misykah adalah dada (jasmani)-nya, al-Zujajah adalah qalbu (rohani)-nya, sedangkan al-mishbah adalah nubuwat.” [Tafsir al-Bughawi, III: 346].

Komentar senada diungkapkan oleh Ibn Umar r.a. yang dikeluarkan oleh Imam al-Thabrani, Ibn ‘Adi, Ibn Mardawiyyah, dan Ibn. ‘Asakir:

Al-misykah adalah rongga dada (jasmani) Muhammad saw, al-zujajah qalbu (rohani)-nya sedangkan al-mishbah adalah nur yang ada didalam qalbunya.” [Majma al-Zawaid, VII:83; al-Mu’jam al-Awsath, II: 235; al-Mu’jam al-Kabir, XII: 317; Tafsir al-Qurthubi, XII: 263; Fath al-Qadir, IV: 36].

Cahaya (nur) yang ada dalam qalbu Nabi tersebut, atau yang biasa disebut dengan Nur Muhammad, termasuk didalamnya al-Qur’an yang juga disebut dengan Cahaya (nur) yang diturunkan kedalam qalbunya [Al-Nisa, 4: 174; Al-Baqarah, 2:97] merupakan cahaya Allah ada dibumi sebagai satu ujung sedangkan ujung yang lain ada disisi Allah sendiri. Hal ini ditegaskan dengan kelanjutan firman-Nya dalam ayat yang sama:

Cahaya (Allah) di atas cahaya (Muhammad); Allah menuntun kepada cahaya-Nya orang yang dikehendaki.”

Maksudnya adalah bahwa Cahaya Allah berhubungan langsung dengan Cahaya Muhammad, karena pada hakikatnya Cahaya Allah dan Cahaya Muhammad adalah SATU, dan ditempat lain digambarkan sebagai tali Allah yang harus dipegangi kuat-kuat. Dalam kaitan ini Allah berfirman :

“Dan berpeganglah secara teguh kepada tali Allah, dan janganlah bercerai-berai”. (Ali Imran, 3: 103)

Ayat lain yang tampaknya juga penting dikemukakan disini untuk memahami keterkaitan Cahaya (Nur) Tuhan dengan qalbu orang mu’min sebagai singgasana nur itu, disamping keterkaitannya dengan hidayah, dzikir, dan perjalanan pulang menuju Tuhan adalah:

Barang siapa yang dilapangkan Allah dadanya untuk Islam, maka berada diatas Cahaya (Nur) Tuhannya ; maka celakalah orang-orang yang berhati keras sehingga tidak berdzikir kepada Allah; mereka berada dalam kesesatan yang nyata”. (Al-Zumar, 39:22)

Imam al-Qurthubi mengutip sebuah hadits yang berasal dari Ibn Mas’ud yang mengatakan bahwa para sahabat bertanya kepada Nabi saw tentang ayat itu, Bagaimana dada orang itu menjadi lapang ? Rasulullah saw menjawab :

Jika Cahaya (Nur) itu masuk ke dalam qalbunya, maka ia menjadi lapang dan terbuka. Para sahabat masih bertanya, Apa tanda-tanda hal itu ? Rasulullah saw menjawab : Melakukan perjalanan pulang ke negeri abadi (akhirat) dan meninggalkan negeri tipu daya (dunia) serta bersiap-siap menjemput kematian sebelum tiba saatnya [Tafsir al-Qurthubi (Al-Jami’ li Ahkam al-Quran), XV: 247].

Dari informasi di atas semakin jelas bahwa Cahaya (Nur) Allah SWT bersemayam di dalam qalbu orang yang dikehendaki lapang dadanya oleh Allah SWT; dan karena kondisi orang semacam ini dioposisikan dengan orang yang berhati keras sehingga tidak berdzikir kepada Allah SWT, maka berarti bahwa orang yang didalam qalbunya terdapat Cahaya (Nur) Allah SWT tiada lain adalah ahli dzikir, orang yang tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah SWT. Tidak seorang pun yang mendapat gelar sebagai ahli dzikir kecuali Nabi SAW sendiri dan hamba-hamba Allah SWT yang oleh beliau disebut sebagai mafatih al-dzikr kunci-kunci dzikir; mereka adalah wali-wali Allah yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu langsung berdzikir juga. Mereka itulah para ‘ulama yang disebut sebagai waratsah al-anbiya ahli waris para nabi, yang kepada mereka Allah mewariskan Al-Qur’an, sehingga di qalbu mereka itulah wasilah atau Nur Tuhan bersemayam.

Mencari dan melihat mereka adalah kewajiban yang diperintahkan Allah kepada orang-orang yang beriman. Menemukan mereka berarti menemukan wasilah. Dengan wasilah, mereka akan dapat berhubungan langsung dengan Allah serta memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari-Nya, sebagaimana bumi berhubungan langsung dengan matahari melalui cahayanya sehingga memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari matahari itu sendiri Rabithah (Merabit)

Unsur lain yang juga sangat fundamental dalam thariqah sebagai jalan menuju Tuhan dan sekaligus sebagai teknik berdzikir efektif adalah rabithah al-mursyid (merabit mursyid) yang dalam istilah Imam al-Munawi disebut dengan shuhbat al-mursyid bersahabat dengan mursyid, yaitu ketika ia menyinggung cara pencapaian akhlak yang terpuji dalam al-Faydh al-Qadir-nya:

Cara memperoleh akhlak yang terpuji adalah dengan memperbanyak dzikir sambil bersahabat dengan mursyid yang sempurna [Faydh al-Qadir, III: 467].

Bersahabat dengan mursyid melahirkan akhlak yang agung, menyemaikan kesadaran keagamaan yang benar, dan membangkitkan glora cinta ilahi yang tersalur dari kalbu mursyid ke dalam kalbu murid. Bersahabat dengan mursyid yang sempurna adalah langkah awal yang harus ditempuh dalam perjalanan menuju Tuhan. Perjalanan ini sekaligus menjadi sarana diagnosa dan terapi terhadap penyakit-penyakit yang dijangkitkan oleh virus paling ganas bernama Iblis laknatullah.

Dalam setiap qalbu terdapat apa yang disebut hazhzh al-syaithan bagian setan, dan bagian inilah yang diambil Jibril dari qalbu Nabi Muhammad SAW pada saat Beliau SAW berusia empat atau lima tahun dan pada saat menjelang keberangkatan beliau dalam perjalanan malam menuju Tuhan [Shahih Muslim, I: 147; Shahih Ibn Hibban, XIV: 242; al-Mustadrak, II: 575; Musnad Ahmad, III: 149, 288; Musnad Abi Ya’la,VI: 108, 224; Musnad Abi Awanah, I: 113, 125].


Oleh : Syekhul Mu'min


Related Posts

Comments
0 Comments

No comments:

Passan Pala' Kesah

Awalnya blog ini dibuat hanya iseng untuk mendokumentasikan dan mengumpulkkan khazanah tanah kelahiran yang hampir terlupakan generasi muda. Berawal dari postingan permainan rakyat dan kamus mini bahasa Melayu Sambas, admin terus memperbaiki SEO dan postingan dan berupaya memenuhi apa yang diinginkan pembaca blog ini. Setelah di analisa, ternyata kebanyakan pengunjung blog ini mencari tentang sejarah kelam Sambas 1999.

Inginya blog ini difokuskan untuk sejarah, budaya dan segala sesuatu yang terkait dengan tanah kelahiran, namun pada perjalanannya admin banyak menemukan artikel menarik dan sengaja direpost disini untuk arsip pribadi. Sungguh sangat tidak disangka ternyata banyak juga pembaca punya ketertarikan yang sama dengan fenomena akhir zaman yang semakin nyata. Untuk saat ini admin akan fokus pada artikel tentang Dajjal dan Imam Mahdi yang dipastikan sebentar lagi akan tiba. Apabila pembaca menemukan artikel yang menarik haraplah berikan hujatan, celaan atau komentarnya...^_^

Jika ada yang tertarik untuk menjadi penulis di blog ini, atau tukar link sesama blogger, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi admin

Hariyono Al Kifri