29 April 2011

Pemicu Kerusuhan Sambas 1999 : Ambruknya Supermasi Hukum


KETIKA SUPREMASI HUKUM AMBRUK DI SAMBAS

KOMPAS

Kamis, 01 Apr 1999

TRAGEDI Sambas 1999 yang sudah menelan korban sekitar 200 orang tewas dan lebih dari 2.000 rumah hangus dibakar massa, meninggalkan luka di tubuh etnis Melayu (juga masyarakat lainnya di Kabupaten Sambas) dan etnis Madura. Mozaik peradaban masyarakat Kabupaten Sambas dan Kalbar jadi berantakan, dan membutuhkan beberapa generasi untuk merajut kembali. Dan pasti tidak akan seutuh dan seindah dulu.

Akan tetapi, Tragedi Sambas 1999 bukan persoalan kecemburuan sosial-ekonomi, sebagaimana disinyalir para pengamat yang tidak memahami realitas obyektif sosial budaya masyarakat Kabupaten Sambas. “Tragedi Sambas merupakan resultan dari masalah-masalah struktural dan nonstruktural yang tumpang-tindah satu sama lain. Amuk massa dalam bentuk kekerasan adalah aktualisasi dari ketidakmampuan masyarakat menanggung beban masalah tersebut,” kata Chairil Effendi, anggota Kelompok Diskusi Kalbar di Singkawang, Kamis (25/3).

Masalah struktural, kata Chairil, menyangkut adanya rekayasa sistematis rezim Orde Baru dalam segala dimensinya. Secara ekonomi, Kalbar penyumbang devisa kelima terbesar bagi Indonesia, namun masyarakatnya menduduki tempat ketiga termiskin di Indonesia. Pengeksploitasian sumber daya alam Kalbar, baik hutan maupun tambangnya, tidak memberikan kontribusi berarti bagi peningkatan harkat dan martabat kehidupan masyarakatnya.
Secara politik, Orde Baru melakukan dominasi dan hegemoni secara sistematis dalam hampir semua pengambilan keputusan politik, sehingga keterlibatan masyarakat dalam aspek ini hampir-hampir tidak ada. Orang-orang daerah tidak dipandang merepresentasikan kepentingan daerah, melainkan kepentingan pusat. Secara struktural, Orde Baru juga memaksakan uniformitas, tidak memberi ruang bagi kebebasan budaya lokal untuk berkembang secara dinamis, sehingga eksistensi budaya lokal nyaris punah. Pendukung budaya lokal mengalami krisis identitas dan terasing dari basis kebudayaannya sendiri. Krisis dan keterasingan ini menimbulkan frustrasi yang mendalam.

Paradigma pembangunan lebih bersifat ekonomistis-teknokratis dengan kalkulasi untung-rugi secara material, tanpa disertai pembangunan etika dan moral, sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat. Di samping itu, kelompok diskusi ini juga menilai, hukum tidak ditegakkan sebagaimana seharusnya, bahkan aparat keamanan demi memenuhi kebutuhan ekonominya cenderung menyuburkan premanisme dan tindakan kekerasan lainnya. Perilaku ini, demikian kelompok diskusi Kalbar, menyinggung rasa keadilan masyarakat sehingga timbullah ketidakpercayaan pada hukum dan aparat keamanan khususnya, dan pemerintah pada umumnya.

MASALAH nonstruktural yang melatarbelakangi Tragedi Sambas 1999 ini menyangkut budaya antara etnis Madura dan etnis-etnis lain. Masyarakat Kalbar bersifat pluralistik dengan berbagai budayanya masing-masing. Dalam pluralisme itu, tidak terdapat budaya dominan yang dapat digunakan sebagai orientasi akulturasi dalam kebudayaan bersama. Sejauh masing-masing etnis bersedia menghormati sistem nilai budaya
etnis lainnya, sejauh itu pula konflik etnis tidak muncul. Ini terlihat dari keharmonisan hidup antaretnis Melayu, Dayak, Cina, dan Bugis (juga Jawa, Minang atau Batak). “Dalam proses internalisasi nilai-nilai baru, etnis Melayu dan Dayak berusaha mengeliminir tradisi kekerasan yang pada satu masa pernah ada,” ungkap Chairil Effendi yang juga dosen Universitas Tanjungpura Pontianak.

Meskipun tidak terdapat budaya dominan, sistem nilai budaya Melayu dan Dayak relatif menjadi panutan. Nilai-nilai budaya kelembutan, kesantunan, penghormatan yang tinggi terhadap hukum adat (juga hukum formal) dilatarbelakangi faktor topografis dan geografis, serta sentuhan peradaban besar seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Kelompok diskusi Kalbar beranggotakan 11 orang ini berpendapat, hal sebaliknya terjadi pada sebagian masyarakat yang berasal dari etnis Madura yang masuk ke Kalbar sekitar tahun 1902. Budaya tegalan di lahan kering dan tandus Pulau Madura tidak diupayakan untuk ditransformasikan, sebaliknya cenderung dipelihara, sehingga secara diametral bertentangan dan menimbulkan konflik etnis, yaitu pada tahun 1933, 1967, 1969, 1971, 1972, 1977, 1986, 1996, dan 1997 antara etnis Dayak dengan Madura. Konflik etnis Dayak-Madura adalah konflik lembaga budaya ngayau dan carok.

Berkat faktor geografis domisilinya dan tradisi pendidikan yang relatif lebih kuat, selama ini etnis Melayu memiliki akses yang lebih besar untuk melakukan dialog intens dengan budaya luar, sehingga inti kebudayaan lokal yang mengandung kekerasan relatif terlindungi secara kukuh. “Kesamaan keyakinan dalam Islam di masa-masa lalu, masih berfungsi sebagai perekat, sehingga berbagai benturan yang dialaminya tidak mudah tersulut menjadi konflik etnis. Namun, benturan bertubi-tubi dalam berbagai bentuk yang dialaminya dalam kehidupan bermasyarakat berpuluh tahun bersama etnis Madura, sedikit demi sedikit mengikis pertahanan sistem nilai budaya Melayu,” kata Chairil Effendi.
***

PERSOALAN struktural dan nonstruktural tersebut, pada tahun-tahun terakhir semakin mengental karena supremasi hukum tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Hancurnya supremasi hukum menimbulkan rasa ketidakadilan, kecewa, dan frustrasi mendalam. Akumulasi kesemuanya memunculkan konflik dengan metode kekerasan sebagai pemecah masalah. Kelompok diskusi Kalbar ini menyimpulkan, Tragedi Sambas terjadi akibat adanya masalah struktural dan nonstruktural yang tidak terselesaikan secara baik, sehingga masing-masing etnis yang ada mengembangkan stereotip etnis, yang pada akhirnya bermuara pada tindak kekerasan yang memang telah ada dalam inti kebudayaan masing-masing etnis.

“Tragedi Sambas bukan hanya tragedi bagi etnis Madura, tetapi lebih-lebih tragedi bagi Melayu, karena terjadi di luar kehendak orang-orang Melayu dan terjadi di tanah asal-usul bangsa dan bahasa Melayu. Masyarakat Melayu-lah yang paling dirugikan oleh peristiwa ini,” jelas Chairil.

Lalu apa solusi yang ditawarkan kelompok diskusi Kalbar ini? Pertama, merelokasi etnis Madura dari kantung-kantung konflik di wilayah Kabupaten Sambas ke lokasi permukiman baru yang lebih bersahabat dengan mereka. Usaha relokasi harus menyertakan pendapat masyarakat lokal yang bersangkutan. Jika masyarakat tak dilibatkan dan secara sadar untuk menerima kehadiran saudara-saudaranya itu, relokasi hanya akan berarti memindahkan masalah ke tempat baru. Kedua, menginformasikan secara luas program relokasi kepada sebagian anggota masyarakat Kabupaten Sambas, yang masih menaruh prasangka etnis agar  dendamnya reda. Dengan demikian, dapat menjalankan kehidupan normal kembali, seperti sebelumnya. Ketiga, melarang seluruh etnis bertikai membawa senjata tajam ketika berpergian ke tempat-tempat umum, karena hal itu dapat dipandang sebagai usaha untuk berbuat balas dendam dan yang pasti tak akan meredakan kemarahan, bahkan dapat menyulut konflik baru. Untuk itu, hukum harus ditegakkan tanpa pilih kasih.

Pemda Kalbar diminta proaktif bertindak sebagai mediator dalam proses interaksi sosial, baik vertikal maupun horizontal. Pendekatan “kekuasaan” harus diubah menjadi pendekatan “pemberdayaan”. Interaksi horizontal harus dikembangkan menjadi interaksi “solidaritas”. Dari sini, diharapkan tak terjadi dikotomi antara etnis Madura dengan etnis-etnis lain di Kalbar. Jika hal tersebut sulit dilakukan, kelompok diskusi Kalbar menyarankan, Pemda Kalbar bersama pemerintah pusat memikirkan dan mengupayakan serius kemungkinan penempatan transmigrasi swakarsa mandiri etnis Madura, di pulau-pulau lain di sekitar Kalbar, beserta sarana dan prasananya. Bambang W Soeharto, anggota Komnas HAM menyatakan, tidak setuju jika warga Madura yang lahir di Kalbar harus dipulangkan ke Madura, karena setiap orang Indonesia berhak tinggal di mana pun di wilayah RI. (adhi ksp)


Related Posts

Comments
0 Comments

No comments:

Passan Pala' Kesah

Awalnya blog ini dibuat hanya iseng untuk mendokumentasikan dan mengumpulkkan khazanah tanah kelahiran yang hampir terlupakan generasi muda. Berawal dari postingan permainan rakyat dan kamus mini bahasa Melayu Sambas, admin terus memperbaiki SEO dan postingan dan berupaya memenuhi apa yang diinginkan pembaca blog ini. Setelah di analisa, ternyata kebanyakan pengunjung blog ini mencari tentang sejarah kelam Sambas 1999.

Inginya blog ini difokuskan untuk sejarah, budaya dan segala sesuatu yang terkait dengan tanah kelahiran, namun pada perjalanannya admin banyak menemukan artikel menarik dan sengaja direpost disini untuk arsip pribadi. Sungguh sangat tidak disangka ternyata banyak juga pembaca punya ketertarikan yang sama dengan fenomena akhir zaman yang semakin nyata. Untuk saat ini admin akan fokus pada artikel tentang Dajjal dan Imam Mahdi yang dipastikan sebentar lagi akan tiba. Apabila pembaca menemukan artikel yang menarik haraplah berikan hujatan, celaan atau komentarnya...^_^

Jika ada yang tertarik untuk menjadi penulis di blog ini, atau tukar link sesama blogger, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi admin

Hariyono Al Kifri